Mobil Nasional Indonesia

Mobil Nasional Indonesia

Esemka Terbit dan Tenggelam

Selanjutnya, industri otomotif Indonesia sempat diramaikan dengan kehadiran Esemka. Mobil yang yang awalnya digembar-gemborkan sebagai mobil karya anak bangsa ini menjadi salah satu proyek kebanggaan Presiden ke-7 RI, Joko Widodo (Jokowi) sebelum Ibu Kota Negara (IKN) Nusantara.

Kali terakhir Esemka terdengar yakni saat muncul di ajang IIMS 2023 sembari memamerkan mobil listrik bertajuk Esemka Bima EV.

Kemunculannya saat itu seakan menjadi pembuktian bahwa mobil Esemka benar-benar ada, bukan 'gaib' atau 'mitos' - istilah yang kerap dipakai warganet untuk mencemooh Esemka.

Bukan tanpa alasan, mobil Esemka disebut mobil 'gaib' lantaran sangat jarang ditemukan berlalu lalang di jalan raya. Dari pengamatan Bisnis, di area Boyolali, Solo dan Karesidenan Surakarta lainnya, jarang sekali ditemukan mobil Esemka berseliweran di jalanan.

Dilansir dari laman resminya, esemkaindonesia.co.id, berawal dari sekelompok orang yang mempunyai cita-cita yang sama untuk membuktikan bahwa anak-anak Indonesia bisa dan mampu untuk membuat mobil sendiri, maka terbentuklah sebuah komunitas yang kemudian dinamakan Esemka.

Jika menilik sejarahnya, Esemka dimulai pada 2007 yang mulanya dibuat sebagai proyek belajar siswa SMK di Solo. Kemudian, di bawah kepemimpinan Jokowi yang kala itu masih menjadi Wali Kota Solo, banyak sekolah vokasi (Sekolah Menengah Kejuruan/SMK) bermunculan dan mendorong semangat komunitas Esemka.

Hasilnya adalah Esemka Rajawali yang pada akhirnya digunakan oleh Jokowi sebagai kendaraan dinas meskipun sempat gagal dalam uji kelayakan dan emisi.

Seiring berjalannya waktu Esemka berkembang ke jalur industri dengan badan usaha berbentuk perseroan terbatas yang diberi nama PT Solo Manufaktur Kreasi (SMK) yang 100% sahamnya dimiliki oleh swasta nasional.

Singkat cerita, PT Solo Manufaktur Kreasi telah memiliki izin untuk memproduksi 8 jenis kendaraan dengan berbagai variasi. Meskipun demikian, warganet kerap membandingkan Esemka Bima EV dengan mobil buatan China yang sudah lebih dulu rilis yakni Shineray X30LEV.

Kini, Jokowi - sang pencetus Esemka - di akhir masa jabatannya sebagai presiden ke-7 RI justru terus menggenjot investasi mobil listrik dan ekosistemnya. Tak hanya mobil listrik, proyek mercusuar Jokowi yakni Ibu Kota Negara (IKN) Nusantara juga semakin menenggelamkan 'proyek' Esemka hingga tak terdengar kabarnya saat ini.

Di Indonesia, mobil nasional (disingkat mobnas) umumnya merujuk pada mobil yang dikeluarkan BUMN atau perusahaan swasta lokal yang desainnya, komponennya, atau mereknya berasal dari dalam negeri[1] dan produksinya dilakukan di dalam negeri.[2] Karena itulah, mobil nasional dalam beberapa kasus dapat diberi hak istimewa dengan keputusan hukum atau keberpihakan khusus dari pemerintah, entah itu bebas pajak, hak khusus atau berbagai insentif. Istilah mobil nasional baru populer pada 1990-an, seiring hadirnya beberapa konsep seperti Maleo dan Timor.

Mobil nasional merupakan suatu cita-cita lama yang sudah ada sejak dari zaman dahulu. Kehadiran mobil nasional (maupun proyek lain seperti pesawat nasional) dianggap sebagai bukti kemajuan pesat dalam ekonomi nasional dan Indonesia telah menjadi negara yang bebas dari pengaruh asing.[3][4] Mobil nasional dianggap reaksi sebagai perkembangan industri otomotif nasional, yang walaupun sudah merakit mobil sendiri, faktanya masih memiliki komponen lokal yang rendah dan didominasi merek asing, terutama asal Jepang.[5] Apalagi, jika melihat keberhasilan industri di negara tetangga seperti Proton Malaysia, tentu akan membuat orang berpikir pentingnya mobil buatan dan merek sendiri.[6] Akan tetapi, bagi beberapa orang juga, "mobil nasional" dianggap sulit sejalan dengan globalisasi,[7] dan terkesan mendompleng nasionalisme bagi keuntungan sesaat.[8] Meskipun ide dan klaim "mobil nasional" sudah dimulai sejak lama, dari era Toyota Kijang, mobil Timor sampai Esemka baru-baru ini, namun saat ini masih belum ada mobnas yang benar-benar diproduksi massal/mendapat penerimaan luas di Indonesia. Versi-versi "mobil nasional" yang pernah muncul beragam, ada yang mengusung brand luar negeri, rebadge mobil luar negeri, sampai yang benar-benar produksi dan desain sendiri. Namun, tidak pernah ada mobnas yang memiliki 100% komponen lokal.

Perkembangan mobil nasional sudah dimulai sejak era Presiden Soekarno, dengan pendirian PT Industri Mobil Indonesia (Imindo) hasil kerjasama pemerintah dan swasta pada tahun 1961, dengan target 15.000 kendaraan/tahun berupa sedan dan bus.[9] Kemudian di era Orde Baru, ide ini berusaha diwujudkan dengan melarang mobil impor penuh (tidak dirakit di Indonesia) pada awal 1970-an, kemudian dilanjutkan kebijakan KBNS (kendaraan bermotor niaga sederhana) untuk mendorong mobil berkomponen lokal tinggi. Mobil nasional baru lahir kembali ketika 1990-an dengan munculnya kebijakan Inpres No. 2/1996 ("Pembangunan Industri Mobil Nasional")[2] yang melahirkan Timor, dimana kebijakan ini bisa dikatakan merupakan upaya resmi pertama bagi melahirkan mobnas bermerek dalam negeri (bukan sekadar tuntutan komponen lokal), meskipun harus berakhir dengan krisis moneter dan tentangan WTO. Kemudian, saat ini mobil nasional umumnya digerakkan oleh perusahaan kecil maupun menengah, dengan menghadirkan marque baru seperti Esemka, Marlip dan Tawon yang umumnya tidak selalu sukses. Replikasi dari kebijakan KBNS diwujudkan pemerintah dengan adanya LCGC (Low Cost Green Car) yang sejak 2013 banyak dikembangkan produsen merek-merek Jepang.[10] Selain itu, insentif juga pernah dikeluarkan, seperti pada tahun 2012, pemerintah menyediakan dana Rp 144 miliar untuk program transportasi umum murah di pedesaan.[11]

Beberapa contoh spesifikasi dari mobil nasional yang pernah diajukan pemerintah:

Meskipun merek Toyota berasal dari Jepang, tetapi pembuatan dan perakitan mobil ini semuanya dilakukan di Indonesia. Mobil ini diluncurkan pada tanggal 9 Juni 1975 dalam ajang Pekan Raya Jakarta 1975. Peluncuran mobil ini dihadiri oleh Presiden RI, Soeharto, dan Gubernur DKI Jakarta, Ali Sadikin. Mobil ini telah mempunyai total penjualan sampai 1 juta unit sejak diluncurkan pada tahun 1975. Mesinnya berkapasitas 1200 cc, yang pada saat itu digunakan juga oleh Toyota Corolla, yang pada zamannya merupakan teknologi baru di industri kendaraan buatan Indonesia. Semua komponen bodi dan mesinnya berasal dari Indonesia.

Mobil ini merupakan salah satu mobil buatan Indonesia yang mampu berjaya sampai saat ini dengan nama Toyota Kijang Innova Zenix serta dengan penjualan yang bahkan jauh melewati batas negara Indonesia. Dari situlah, titik balik itu merupakan akar dari pertumbuhan mobil nasional Indonesia yang selanjutnya diteruskan oleh mobil-mobil lainnya.

PT Garuda Makmur (GARMAK) Motor, ATPM General Motors di Indonesia yang dikendalikan Probosutedjo, menyambut kebijakan KBNS (Kendaraan Bermotor Niaga Sederhana) pemerintah pada 1975 dengan mengeluarkan mobil "Mitra" (Mini Transportasi Rakyat) untuk bersaing dengan Kijang. Mobil yang kemudian namanya diganti menjadi Morina (Mobil Rakyat Indonesia) ini awalnya diluncurkan dalam model truk pada 11 Juni 1976 dengan komponen 40% lokal (diniatkan menjadi 60%), dengan harga Rp 1,25 juta untuk masyarakat pedesaan. Morina sebenarnya adalah proyek dari General Motors bernama Basic Transport Vehicle yang dipasarkan di berbagai negara dengan nama berbeda. GM menyediakan komponennya, sedangkan pengembangan dan perakitannya dilakukan oleh anak usaha/agen GM di negara-negara tersebut.[12] Morina sayangnya tidak sukses dan berakhir produksinya pada tahun 1980 setelah mencapai 1.000 unit.[13]

Pada tahun 1996, Probosutedjo pernah mengungkapkan niatnya kembali untuk membangun mobnas pasca munculnya Timor bekerjasama dengan GM, namun tidak terwujud.[14]

Layaknya Kijang dan Morina, VW Mitra juga merupakan respon ATPM-nya PT Garuda Mataram Motor akan kebijakan KBNS. Mitra merupakan singkatan dari "Mini Transport Rakyat". Mitra memiliki mesin 1600 cc, dengan mengklaim sebagai Kendaraan Pertama Buatan Indonesia. Volkswagen memproduksi mesin dan badannya, sedangkan PT Pindad memproduksi sasis, dengan komponen lokal mencapai 40%. Pindad ditunjuk karena memang Garuda Mataram adalah perusahaan TNI Angkatan Darat. Modelnya ditawarkan dalam beberapa jenis, seperti untuk ambulans, boks, bis, kabin dan lainnya. Mitra kebanyakan dibeli oleh pejabat dan instansi pemerintah untuk kebutuhannya, sehingga penjualannya tidak terlalu banyak, hanya 900 unit. Pada tahun 1976, Mitra mulai dikembangkan menjadi minibus dengan 60% komponen lokal, namun tetap kurang sukses hingga dihentikan produksinya pada 1979.[15][16][17]

Meskipun mobil ini hanya rebadge dari Datsun 1200 AX (yang diedarkan di Thailand) demi menjawab kebijakan KBNS pemerintah, namun Datsun Sena (singkatan dari serbaguna) berbentuk pikap sudah memiliki komponen lokal 50%-75% yang diproduksi oleh PT Indokaya Nissan Motor. Mobil ini berhenti dijual setelah muncul sengketa antara Indokaya dan Nissan yang mengalihkan ATPM ke PT Wahana Wirawan. Produksinya berlangsung dari 1977-1981, mencapai 250 unit/bulan.[18][19][20]

ATPM Holden di Indonesia, PT Udatimex dan manufakturnya PT Indauda menjawab kebijakan KBNS dengan nama Holden Lincah (kemudian diganti menjadi Holden Lincah Gama). Holden Lincah masuk ke pasaran dalam negeri pada 1980-an, awalnya didesain berbentuk pikap namun dirombak kemudian menjadi mirip jeep. Holden Lincah modelnya diambil dari Holden Jackaroo/Chevrolet Trooper, namun memiliki beberapa ciri yang berbeda, seperti lampu kotak dan produksinya yang dikerjakan karoseri. Holden Lincah juga dikenal dengan nama lain seperti Holden Lincah Raider di Jawa Timur. Holden Lincah juga sempat dikembangkan menjadi sedan dengan komponen lokal mencapai 80% dan SUV berbahan fiberglass. Holden Lincah hanya terjual ratusan unit dan kurang sukses hingga pengedarannya dihentikan pada 1989.[21][22]

Indomobil Group, perusahaan otomotif milik Grup Salim, pernah berminat untuk menciptakan mobil nasional versinya. Pada era 1980-an, perusahaan pimpinan Soebronto Laras dan Angky Camaro ini pernah mengusulkan Suzuki Carry yang dimodifikasi untuk menjadi mobil bermerek "Inti Mobil", dengan memanfaatkan mesin buatan lokal 1000 cc berbadan fiberglass, namun gagal karena mahalnya biaya administrasi senilai US$ 5 juta. Selain mobil tersebut, Soebronto juga tertarik bekerjasama memproduksi Reliant Robin untuk pasar nasional, namun lagi-lagi mengalami tantangan serupa dari prinsipalnya di Inggris.[23] Beberapa tahun kemudian, tepatnya pada 1990, Soebronto kembali menelurkan ide serupa, namun kali ini ia beri nama "Mobil Rakyat" atau "Mobira".[24] Soebronto saat itu merasa bahwa mobil seperti Kijang dan Suzuki Carry lebih mirip mobil niaga dibanding mobil pribadi sedan di luar negeri. Untuk merealisasikan niat itu, Laras lalu bekerjasama dengan Mazda, yang hak keagenannya sudah dipegang (saat itu) oleh Indomobil. Mazda lalu memberikan hak untuk memodifikasi mobil Mazda 323 keluaran 1978-1980, yang kelak ingin diberi nama MR (Mobil Rakyat)-90 (1990-an), dan mereka bersama Sumitomo Trading Corporation mendirikan PT Mazda Indonesia Manufacturing yang pabriknya selesai dibangun pada April 1990 senilai Rp 60 miliar.[25]

Untuk memamerkan kehebatan mobil itu, Soebronto mengundang mantan pembalap Benny Hidayat untuk mengujicoba mengendarai mobil MR-90 dari Jakarta-Bandung dengan membawa beban. Tidak lupa juga, Aswin Bahar diminta menguji mobil ini, dan Hasjim Ning sebagai industriawan nasional diminta untuk menjadi bintang iklannya yang saat itu menamakan diri sebagai "Kendaraan Nasional".[26] Meskipun awalnya Presiden Soeharto menyukai mobil itu, akhirnya MR-90 tidak mendapat keringanan pajak dari pemerintah, yaitu pajak sedan 30%. Mobil tersebut akhirnya jauh lebih mahal dibanding pesaing yang seharusnya, yaitu Kijang, sementara publik tidak menyukai kendaraan yang hanya memiliki 1300 cc.[27] Sempat juga diubah namanya menjadi Mister Ninety,[23] ditransformasi menjadi Mazda Vantrend, mobil wagon namun tidak berhasil juga.[28][29] Akhirnya, pada pertengahan 1990-an, Indomobil menghentikan dan menutup produksi mobil tersebut.[25]

Meskipun demikian, seiring kehadiran Timor, Indomobil sempat meluncurkan Suzuki Baleno yang dianggap beberapa orang sebagai "mobnas" versi Indomobil.[30][31] Baleno memiliki harga yang mendekati Timor, yaitu Rp 43,5 juta dan diluncurkan pada 27 Juli 1996.[32] Indomobil kemudian menelurkan rencana menjual dua mobil bermerek Bintan dan Karimun, masing-masing sedan dan minibus dengan kandungan lokal 40% bermesin 1300-1600 cc. Kedua mobil direncanakan akan diproduksi pada 1999 setelah Indomobil membangun pabrik senilai US$ 1,2 miliar,[32][33][34] namun sayangnya gagal akibat krismon yang ikut menimpa Indomobil dan hanya menjadi wacana saja.

Pada tahun 1992, Kalla Motors (perusahaan milik keluarga Jusuf Kalla) pernah menelurkan ide membuat mobil SRI-500 (Sedan Rakyat Indonesia-500). Proyek ini dipimpin oleh Halim Kalla, adik JK bersama alumni sekolah jurusan rekayasa otomotif State University of New York, Amerika Serikat dengan mesin 500 cc. Mesinnya diperoleh dari Lombardini Italia, sedangkan teknologinya menggunakan transmisi otomatis dan mempunyai 80% kandungan lokal. Diproyeksikan dengan harga Rp 10 juta, mobil ini sayangnya tidak masuk tahap produksi dan hanya dibuat beberapa unit saja, salah satunya pernah dipajang di Taman Mini Indonesia Indah.[35][36]

Menristek B.J. Habibie, BPPT,[37] bersama Badan Pengelola Industri Strategis (BPIS), mengusulkan proyek mobil nasionalnya (awalnya dikenal sebagai Mobil Masyarakat Murah)[38] mulai tahun 1993. Mobil itu diberi nama Maleo, sesuai dengan burung endemik di Sulawesi, tempat Habibie berasal. Maleo awalnya merupakan proyek rebadge Rover 100 (Austin Metro) yang diperkirakan akan diimpor sebanyak 10.000 unit, bermesin 1100-1300 cc. Rencananya, saat itu mobil Rover akan diimpor ke Indonesia untuk dibongkar dan dipelajari komponen-komponennya, dan dikembangkan mulai Februari 1994.[1] Sempat kemudian direncanakan akan dirakit di Indonesia pada pertengahan 1997,[39] usaha tersebut gagal, sehingga versi baru Maleo mulai dikembangkan.

Versi baru ini berusaha didesain dari dalam negeri oleh PT Pindad dan IPTN (keduanya di bawah BPIS) pada 1993,[40] berkerjasama dengan perusahaan Australia Millard Design Australia Pty. Ltd.[41][42] Sedangkan mesinnya juga dari kerjasama bersama perusahan Australia lainnya, Orbital Engine Company (OEC), dengan mesin 2-tak 1200 cc. Mesin 2-tak digunakan karena harganya lebih murah, model lebih sederhana dan bobotnya lebih ringan. Maleo ditargetkan memiliki komponen lokal lebih dari 67% yang akan naik menjadi 80%, dengan target awal produksi 4.000 unit pasca diluncurkan, lalu menjadi 15.000 unit, dan kemudian 60.000 unit pada 2002 dengan harga Rp 25 juta untuk menyentuh masyarakat kelas bawah. Maleo kemudian ditargetkan untuk meluncur pada April 1997, dan diproduksi akhir 1998 dalam 4-5 varian. Diperkirakan, ada 5 mobil prototipe Maleo yang sudah diproduksi di Australia.[41]

Meskipun pemerintah kemudian lebih mengutamakan Timor, BPIS tetap melanjutkan programnya[43] walaupun tersendat-sendat.[44] Untuk membantu pengembangan dan produksinya, tim Maleo berencana bekerjasama dengan Hema Hodiroglik Maknasan VE Turki, perusahaan Spanyol dan Italia, bekerjasama dengan Texmaco untuk membuat model 800-1200cc dan berbagi sarana produksi,[41][45] dan hendak membentuk PT Industri Mobil Indonesia demi bekerjasama dengan Timor atau merger dengannya.[46][47] Sayangnya, akhirnya proyek Maleo harus dihentikan seiring dengan krismon 1998.[48][49] Maleo juga gagal karena mesin mobil yang diusulkan Orbital tidak terwujud sama sekali.[41]

Konglomerasi Grup Bakrie melalui Bakrie & Brothers pernah menyiapkan mobil nasional versinya. Dimulai ketika tahun 1992, anak usaha Bakrie bernama Bakrie Motor, melakukan kerjasama dengan Global Automotive Design and Technology (GADAT) yang berbasis di Singapura untuk melakukan riset tentang pasar, kompetitor, sumber daya, dll. Bakrie saat itu memiliki visi ambisius, ingin memasarkan produk mobilnya ke kawasan ASEAN, Amerika Latin dan Eropa. Tidak seperti pabrikan lain yang bekerjasama dengan perusahaan asing atau me-rebadge mobil luar negeri, desain Bakrie benar-benar dimiliki hak ciptanya oleh mereka sendiri, dan dibuat bersama oleh Bakrie Motor, Land Rover[50] dan rumah desain Shado asal Inggris.[51] Aburizal Bakrie beralasan, karena mereka tidak hanya ingin menjadi penjual mobil, tetapi bisa mendesain sehingga menjadi kebanggaan nasional.[52]

Ketika desain selesai pada April 1995, Bakrie lalu menggandeng sejumlah perusahaan, seperti Peugeot-Citroen untuk mesinnya dan Kayaba untuk shock breaker, ditambah komponen produksi sendiri seperti cakram (dari Bakrie Tosanjaya) dan panel-panel mobil. Mobil bermesin 2000 cc ini memiliki sekitar 40% komponen lokal dengan 10% untuk mesinnya. Komponen lokalnya ditargetkan naik menjadi 50% di tahun pertama dan 60% di tahun ketiga.[53] Pada 1996, sudah terdapat 7 prototipe mobil yang diproduksi; 4 untuk tes jalan dan sisanya statis, dan kemudian diujicoba di Leyland Technical Center, Inggris, dan rencananya pada Juni 1997 sudah bisa diproduksi massal (yang kemudian mundur ke 1998).[54] Pada akhirnya, mobil minibus yang awalnya hendak diberi nama "Bakrie" ini[52] kemudian diluncurkan pada Desember 1997 dengan nama "BETA 97" di Jakarta Convention Center, dengan harga Rp 38,5-60 juta.[55] Sayangnya, belum sempat keluar, proyek ini tersandung krisis moneter tahun 1998 sehingga tidak jadi dilanjutkan.

Dibandingkan proyek-proyek mobil nasional yang ada sebelumnya atau kemudian, Timor bisa dikatakan merupakan yang paling terkenal. Proyek Timor berakar dari keluarnya Inpres No. 2/1996 yang dikeluarkan pada 19 Februari 1996, yang secara dasar meminta pemerintah (dalam hal ini kepada Menteri Perindustrian dan Perdagangan, Menteri Keuangan, dan Menteri Negara Penggerak Dana Investasi/Ketua Badan Koordinasi Penanaman Modal) menghapuskan pajak impor dan barang mewah (kira-kira 60%) bagi produk kendaraan yang mereknya dari lokal, kepemilikannya 100% orang Indonesia, memenuhi tingkat komponen dalam negeri tertentu dan menggunakan teknologi lokal. Mobil nasional saat itu ditargetkan memiliki komponen lokal yang naik dari 20, 40 dan terakhir ke 60 persen selama 3 tahun.[56] Akan tetapi, beberapa saat kemudian, dengan Keputusan Menteri Keuangan No. 82/KMK.01/1996, yang ditunjuk menjadi pelaksana proyek mobnas adalah PT Timor Putra Nasional (TPN), yang didirikan pada Agustus 1995 dan 99% sahamnya milik Hutomo Mandala Putra (Tommy).[44][57] Menurut salah satu pejabat di pemerintah Soeharto, Tommy dipilih karena ia bersama Kia yang digandengnya hanyalah yang berminat mengikuti proyek tersebut.[58]

Sebenarnya, kerjasama antara Kia dan Tommy (dibawah Grup Humpuss miliknya) sudah dijalin sejak 1993, dengan saat itu direncanakan untuk membangun pabrik Kia di Cikampek, Jawa Barat. Berkongsi dengan PT Indauda (bekas pabrik perakitan Holden), Tommy mendirikan PT Indauda Putra Nasional Motor, untuk merakit mobil Kia Sephia dan Pride menggunakan komponen lokal 100% mulai 1995.[59] Perusahaan ini kemudian berganti nama menjadi PT Kia Timor Motors, dengan kepemilikan serupa yaitu 30% milik Kia, 35% milik PT TPN/Tommy, dan sisanya PT Indauda. PT Kia Timor Motors kemudian ditargetkan untuk menjadi pabrikan mobil Timor, diganti dari merek Kia sebelumnya.[60][61] Akan tetapi, karena pada saat Timor ditunjuk pabriknya belum selesai dibangun, tiba-tiba pemerintah Orde Baru (lewat Keppres No. 42/1996 di Juni 1996) mengizinkan Timor untuk mengimpor mobil langsung dari Korea Selatan, selama setahun dengan syarat harus memiliki komponen lokal dan lainnya seperti pekerja Indonesia yang digunakan di pabrik Kia Korsel.[56][62] Unit mobil "nasional" (impor) Timor pertama masuk pada Agustus 1996.[63]

Tommy lalu mendirikan dua anak usaha baru sebagai pelengkap PT Kia Timor Motors dalam pelaksanaan proyek mobil nasional, yaitu PT Timor Distributor Nasional (distributor) dan PT Timor Industri Komponen yang direncanakan memproduksi komponen Timor. Mobil Timor kemudian diluncurkan langsung oleh Tommy pada 8 Juli 1996 dengan kemudian dipamerkan di 22 mal di Jakarta,[64] dengan model pertama Timor S515 adalah rebadge Kia Sephia 1995. Timor S515 rencananya akan dikirim ke konsumen mulai Oktober 1996 dengan harga awal Rp 35,75 juta, lebih murah setengahnya dari mobil sejenis seperti Toyota Corolla. Uniknya, walaupun diklaim sebagai "mobnas", di beberapa dealer justru beberapa mobil Timor diberi label Made in Korea.[65] Pada tahun pertamanya, Timor menargetkan penjualan 70.000 mobil Timor S515, dan untuk melaksanakannya telah mengimpor 39.715 mobil dari Korea Selatan selama setahun (Juni 1996-Juli 1997). Awalnya, Timor direncanakan akan diproduksi secara lokal mulai Maret 1997 dengan menggandeng Indomobil dan Indauda, dan kemudian pada awal 1998 di pabriknya yang ada di Cikampek.[61][66] Mobil rakitan lokal pertama Timor itu kemudian keluar pada 15 Maret 1997, walaupun masih banyak komponennya berasal dari luar negeri. PT TPN menargetkan komponen lokalnya menjadi 20% pada akhir 1997 dan 65% pada 2,5 tahun mendatang.[67] Meskipun partner-nya Kia kemudian terdampak dengan krisis 1997 di Korsel, namun Timor saat itu menyatakan tidak terpengaruh.[68] PT TPN bahkan juga berencana untuk melepas sahamnya di bursa saham untuk memenuhi kebutuhan dananya senilai US$ 1,3 miliar.[67]

Kebijakan mobnas Timor pun kemudian menuai polemik karena dianggap terlalu berbau KKN, apalagi mengingat Tommy tidak pernah memiliki pengalaman memproduksi mobil sebelumnya dan mobil tersebut (awalnya) hanyalah mobil impor yang diberi label "nasional".[5][69] Kritik datang dari berbagai pihak. Ekonom Widjojo Nitisastro misalnya mengkritik proyek itu, yang kemudian dibalas Soeharto agar ia dan para pakar tidak ikut campur.[70] Tidak hanya Widjojo, Menteri Keuangan Mar'ie Muhammad kabarnya tidak menyukai penyaluran dana untuk Timor, namun dipaksa Soeharto untuk memuluskannya.[4] Tidak lama kemudian juga, WTO, Jepang, Amerika Serikat dan Uni Eropa ikut mengkritik kebijakan itu, degan alasan melanggar prinsip perdagangan bebas karena pemerintah tidak memberi bea masuk untuk impor mobil utuh padanya, sedangkan pabrikan lain tidak.[56][64][71] Karena dianggap simbol nepotisme, Timor tidak terlalu berhasil menjual produknya.[72] Misalnya, pada Maret 1997, dari target 4.000 kendaraan yang terjual/hari, PT TPN hanya bisa menjual 2.000/hari atau setengahnya.[67] Malah, kemudian istilah "Mobnas" diplesetkan menjadi Mobil Buatan Negara Asing,[71] dan Timor diplesetkan menjadi Tommy Ingin Maya Olivia Rumantir atau Tommy Itu Memang Orang Rakus.[73] Untuk mendukung program Timor, bahkan pemerintah meminta agar Timor dijadikan mobil sedan resmi bagi pejabat dan kemudian meminta sejumlah bank BUMN/swasta untuk mengucurkan kredit senilai US$ 650 juta bagi pembangunan pabrik Timor pada 11 Agustus 1997.[4][56] Meskipun demikian, proyek mobnas Timor telah memicu keluarnya berbagai calon "mobil nasional" lainnya, seperti Bakrie Beta-97 dan Bimantara.[53] Selain itu, Timor terbilang cukup berhasil masuk dalam jajaran merek yang diperhitungkan pada 1997 karena harganya yang murah.[74]

Dalam perkembangannya, Timor mengeluarkan beberapa model, seperti S515, S516i, S513/S2 city car, SL516i limusin 4 pintu dan 6 pintu serta SW515i berbadan station wagon.[64] Model S515/515i merupakan model pertama dan yang paling dikenal sebagai "mobil Timor" atau "mobil nasional".[75] Timor sebenarnya sudah berencana mengeluarkan model lain, seperti truk dan jip, mobil van 2000 cc,[67] Timor S213i (model Timor satu-satunya yang diketahui murni lokal) desain Soeparto Soejatmo dan Zagato Italia berbentuk hatchback,[76] kemudian Timor J520 (rebadge Kia Sportage) dan Timor Borneo/Galileo.[77]

Kehadiran Timor di Indonesia harus diakhiri dengan munculnya krismon 1998. Pada Letter of Intent (LoI) yang ditandatangani oleh Soeharto pada Januari 1998, IMF memaksa pemerintah mencabut aturan yang memberi hak istimewa pada proyek mobnas, dan pemerintah terpaksa mengikutinya lewat Keppres No. 20/1998 yang mencabut Keppres No. 42/1996. Akibat pencabutan itu, Timor sempat mengguggat pemerintah ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.[4][63][78] Pada saat yang bersamaan, sejumlah negara yang memprotes Timor, membawanya ke WTO yang kemudian memutuskan di Maret 1998 bahwa sebelum Juli 1999 pemerintah sudah menghapus aturan tersebut karena melanggar aturan WTO, yang berarti ikut memukul proyek ini.[61][79] Penjualan Timor pun jatuh pasca kekuasaan Orde Baru runtuh, dan pada Oktober 1998 pemerintah memaksa agar Timor membayar US$ 1,3 miliar biaya pajak impor dari Korea Selatan yang dulu dilakukannya. Untuk merampingkan usahanya, distributor PT Timor Distributor Nasional dan PT Timor Industri Komponen sudah dimerger dalam PT TPN pada 8 Juni 1998.[80] Timor bahkan disebutkan hendak memproduksi panci agar tetap bertahan dari krisis.[44] Dari 39.000 kendaraan yang ada di tahun itu, 15.000-nya masih teronggok tidak terjual.[81] Timor kemudian diambilalih oleh BPPN akibat tidak mampu membayar hutang bank pada 1997.[82] Akibat dari masalah itu, produksi Kia/Timor di Indonesia sempat terhambat, dan pabriknya dibiarkan terbengkalai.[83] Sempat ada rencana untuk merger antara Timor dan Texmaco untuk menyelamatkannya, namun tidak terjadi.[44] Baru pada 11 April 2000, Kia Motors menyatakan keinginannya untuk memulai kembali produksi mobil Kia di Indonesia.[84] Bisnis Timor kemudian diambil alih oleh PT Kia Mobil Indonesia (KMI) yang menjual mobil kembali dengan merek Kia,[85][86] sehingga mengakhiri peredaran "mobnas" Timor selama 3 tahun.

Tidak hanya Tommy, anggota Keluarga Cendana yang lain, yaitu Bambang Trihatmodjo dengan bendera Bimantara Citra-nya juga berusaha terjun ke bisnis mobil nasional. Dibanding dengan Tommy, sebenarnya Bambang sudah jauh lebih berpengalaman karena sudah memiliki pabrik perakitan mobil Ford sejak 1984 yang penjualannya sudah cukup baik. Bambang sendiri memiliki pabrik mobil tersebut dengan kepemilikan 38% di PT Indonesian Republic Motor Company (IRMC) yang merupakan agen tunggal Ford di Indonesia.[87] Selain itu, Bambang juga memiliki PT Lima Satria Nirwana yang bergerak di distribusi dan perakitan Mercedes-Benz.[88][89] Pada 21 April 1994, Bambang berhasil menjalin kerjasama patungan dengan Hyundai Motors Korea Selatan untuk merakit Hyundai Elantra dan Hyundai Accent di bawah PT Bimantara Cakra Nusa, yang produksinya dimulai pada Juli 1995 di Cikampek dengan target produksi 10.000 unit/tahun.[90][91]

Hanya dalam waktu setahun setelah Bambang membangun pabrik Hyundai, pada 30 Mei 1996 dalam RUPS Bimantara Citra, ia mengumumkan bahwa perusahaan bernama PT Citramobil Nasional telah diizinkan pemerintah untuk mengedarkan mobil lokal bermerek Bimantara.[92] Bambang sebenarnya sangat menginginkan fasilitas pajak dari proyek mobnas yang saat itu digadang-gadang pemerintah.[34] Menurutnya, proyek mobnas sebenarnya boleh untuk banyak perusahaan saja, dan proyek itu terkesan tidak sempurna dan monopolistik. Apalagi, menurutnya mobil Bimantara sudah memiliki komponen lokal 17%. Namun, pemerintah tidak bergeming dengan keputusannya.[56][93] Sebenarnya, pemerintah juga dapat memberikan insentif layaknya Timor kepada pabrikan mobnas lainnya, namun masih harus menunggu 3 tahun lagi (artinya di tahun 1999).[94] Konon, akibat persaingan panas antara dua anggota keluarga Cendana tersebut, Siti Hartinah (Ibu Tien) tewas tertembak ketika keduanya bertengkar hebat mengenai proyek mobnas. Ceritanya adalah, ketika Ibu Tien berusaha menenangkan mereka berdua, tiba-tiba salah satu dari mereka menembakkan pistolnya ke Tommy/Bambang yang saat itu berlindung di belakang ibu mereka (rumor ini dibantah oleh ajudan Soeharto, Sutanto yang menyatakan wafatnya Ibu Tien pada 28 April 1996 adalah karena serangan jantung).[95][96] Persaingan mereka pun makin panas, ketika pada 1997 Bimantara memprotes pemerintah yang saat itu mewajibkan Timor menjadi mobil bagi pejabat.[71] Sesungguhnya, tidak hanya Bambang saja, hasil survei pada era itu juga menemukan bahwa publik lebih menyukai Bimantara sebagai mobnas dibanding Timor.[97]

Meskipun demikian, Bambang tetap melanjutkan programnya. Pada 24 Juli 1996 (kurang dari sebulan setelah peluncuran Timor), Bimantara resmi meluncurkan mobil Bimantara Nenggala (Hyundai Elantra yang di-rebadge, mesin 1600 cc) dan Bimantara Cakra (versi rebadge Hyundai Accent, mesin 1500 cc).[32] Khusus Bimantara Cakra, sebenarnya hanya berganti nama dari Accent yang memang sudah beredar di Indonesia sejak Oktober 1995, sedangkan Nenggala merupakan keluaran baru. Dengan investasi produksi sebesar US$ 50 juta, Cakra dan Nenggala menargetkan penjualan 6.000 unit hingga akhir 1996.[34][65] Bimantara kemudian berencana untuk memperluas range mobilnya, seperti dengan kendaraan niaga dan penumpang berharga murah (Rp 20 juta) yang ditargetkan akan keluar pada 1999.[98] Target lainnya adalah 60% komponen lokal (dari 20% pada 1997) dan 100.000 kendaraan Bimantara pada 1998,[53][99] dan akan membangun pabrik lain di Purwakarta sebesar US$ 400 juta yang diperkirakan selesai pada kuartal ketiga 1998.[34][100] Cakra dan Nenggala dijual dari Rp 40 dan 65 juta/unit,[101] yang kemudian untuk bersaing dengan Timor, diturunkan masing-masing menjadi seharga Rp 38 dan 56 juta.[102][103] Tidak hanya itu juga, Bimantara pun banyak menargetkan pasar pejabat, layaknya Timor.[104]

Akibat krismon pada 1998, produksi dan kerjasama Bimantara Cakra dan Nenggala pun harus dihentikan sementara, termasuk rencana pendirian pabrik di Purwakarta.[105][106] Tidak lama setelah Soeharto jatuh, sempat dikabarkan bahwa Hyundai memutus kerjasama dengan Bimantara dalam penjualan dan manufaktur mobil Hyundai di Indonesia,[107][108] namun kemudian tetap dipertahankan pada 1999 meskipun harus menghentikan pengedaran mobil bermerek Bimantara yang dikembalikan ke nama aslinya.[109][110] Dua tahun kemudian (2001), Bimantara juga melepas bisnis otomotifnya ke pemilik lain, yang berarti mengakhiri kepemilikannya atas hak keagenan Hyundai.[111] Dengan begitu, berakhirlah kiprah Bimantara sebagai salah satu calon mobil nasional selama 3 tahun.

Macan adalah kendaraan berjenis minibus atau MPV dengan kapasitas mesin 1800 cc dari PT Texmaco. Dalam mengeluarkan mobil ini PT Texmaco menggandeng Mercedes-Benz, tercatat satu unit prototipe sudah dipamerkan di arena Pekan Raya Jakarta pada pertengahan tahun 2001. Selain itu, mobil yang juga diberi nama "Carnesia" (Car of Indonesia) ini juga dipamerkan pada Jakarta Motor Show 2002 dan Gaikindo Auto Expo. Mobil ini rencananya akan dijual dengan harga Rp 100 juta ke bawah. Selain MPV, Texmaco juga diketahui sempat mengembangkan mobil sedan kecil 1000 cc.[112][113]

Selain Macan, PT Texmaco juga mengeluarkan Truk Perkasa yang merupakan satu-satunya kendaraan jenis truk yang diproduksi oleh perusahaan Indonesia. Truk ini mempunyai kandungan lokal mencapai 90%. Mesin diesel yang digunakan adalah lisensi dari Cummins Amerika, persneling ZF dari Jerman, gardan (axle) dari Eston Amerika serta badan adalah lisensi dari British Leyland (Inggris). Tercatat TNI telah memesan 1.000 unit dan sampai tahun 2009 truk ini masih operasional. Truk Perkasa diproduksi sejak 1998, dan pada 2001 sudah diproduksi 300 unit.[114] Tidak hanya truk, Texmaco lewat PT Wahana Perkasa Autojaya juga memproduksi bus sejak 2001 yang tercatat diekspor ke Arab Saudi. Bus Texmaco ini pada 2002 disebutkan akan diproduksi 12.000 unit, dengan 2.000-nya sudah terpesan dari dalam dan luar negeri.[115][116][117]

Sayangnya, kelompok bisnis milik Marimutu Srinivasan ini kemudian terjerat hutang Rp 29,04 triliun, yang menyebabkan asetnya diambil alih BPPN. Texmaco dan BPPN kemudian terlibat persengketaan dan kredit macet tersebut tidak terselesaikan.[118][119] Akibatnya, produksi truk-bus Perkasa yang bisa dikatakan salah satu mobnas yang cukup sukses dan rencana produksi MPV Macan pun terhenti sejak 2004.

Kancil (singkatan dari Kendaraan Niaga Cilik Irit Lincah) merupakan merek dagang terdaftar dari sebuah kendaraan angkutan bermotor roda empat yang didesain, diproduksi dan dipasarkan oleh PT KANCIL (singkatan dari Karunia Abadi Niaga Citra Indah Lestari). Pernah diharapkan sebagai pengganti bajaj dan bemo karena keduanya tidak diizinkan untuk bertambah jumlahnya atau diproduksi di wilayah Jakarta. Sayang, Kancil tidak mendapat tanggapan yang cukup baik dari pemkot Jakarta ataupun masyarakat. Kancil memiliki spesifikasi mesin 250 cc (15,3 cu in) dan kecepatan masimal 70 km/jam.[120] NIK (Nomor Identifikasi Kendaraan)/Vehicle Identification Number-nya telah dirilis pada bulan Oktober 2009.[121]

Gang Car adalah sebuah mobil mini berkapasitas 2 orang buatan PT Dirgantara Indonesia yang ditenagai mesin 125-200 cc. Mobil ini didesain untuk berukuran cukup kecil sehingga bisa beroperasi di gang-gang sempit di daerah perkotaan (maka dari itu dinamakan Gang Car). Proyek ini tidak pernah terdengar lagi kabarnya sejak tahun 2003 setelah PT DI dilanda kemelut dan merumahkan 6.000-an karyawannya. Tercatat, ada 4 model Gang Car yang sempat dibuat, yang kemudian dihibahkan ke Kemendikbud pada 2012.[122]

Marlip adalah mobil listrik produksi dari PT Marlip Indo Mandiri. Perusahaan ini adalah perusahan yang didirikan melalui hasil riset di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) dan merupakan perusahaan pertama di Indonesia yang memproduksi mobil listrik. PT MIM memfokuskan usahanya untuk memproduksi kendaraan listrik kegunaan khusus yang dapat digunakan di rumah sakit, padang golf, area pabrik, perkantoran, lapangan bola, area hotel/resor, tempat-tempat wisata dan sejenisnya.

Jenis-jenis Marlip adalah Marlip Mosen Standar (mobilisasi pasien), Marlip R410 yang menggunakan ban dan pelek buatan APEX, Marlip Smart (untuk area perumahan dan perkantoran), Marlip City Car (mobil perkotaan), Marlip LE 320 & LE 330 (lapangan golf, patroli, wisata), Marlip tipe Hercules (area hotel, perkantoran, bandara), dan Marlip pikap.

Dibuat oleh PT Boneo Daya Utama milik Ronny HRS,[123] mobil micro car ini dibuat dalam versi penumpang dan pikap, bermesin mesin V-Twin berkapasitas 653 cc yang bisa mengeluarkan tenaga 15,3 kW dan torsi 44,3 Nm. Mobil ini sayangnya hanya sampai pada tahap prototipe saja.[124]

Arina adalah karya putra-putri Jawa Tengah, hasil kerjasama PT Wahana Cipta Karya Mandiri dengan stake holder industri otomotif Jawa Tengah, antara lain ASKARINDO (Asosiasi Karoseri Indonesia), klaster industri komponen dan suku cadang Jateng, BP Dikjur, Koperasi Cor Logam Batur Jaya (Ceper-Klaten), serta beberapa perguruan tinggi, antara lain Universitas Negeri Semarang (Unnes), Politeknik Manufaktur Ceper, dll.

Arina adalah mobnas berbentuk microcar dengan tenaga penggerak dari mesin Sepeda motor berkapasitas 150 cc sampai 250 cc. Mobil mikro ini berkapasitas 4 orang penumpang. Varian dari prototipe pertama Arina berupa UPV (Urban Personal Vehicle) yang didedikasikan bagi penduduk perkotaan yang mempunyai keterbatasan akan ruang garasi dan sempitnya jalan serta gang. Dengan lebar 120 cm, Arina akan mudah dan leluasa berkeliaran di gang-gang di kota. Demikian juga dengan panjangnya yang kurang dari 300 cm, Arina mudah diparkir di garasi rumah-rumah tipe 21 sekalipun. Selain itu, Arine juga memiliki model feeder ambulans.

Mobil yang diproduksi oleh PT Super Gasindo Jaya di Rangkasbitung, Banten ini, menggunakan bahan bakar bensin dan gas CNG, dan sudah memenuhi standardisasi Euro III, sehingga ramah lingkungan. Mobil ini berkapasitas 650 cc, 4 percepatan manual, dapat dipacu hingga kecepatan 100 km/jam. Konsumsi gasnya 1 kg untuk 20 km. Mobil nasional yang sudah mengandung 90% kandungan lokal ini pun, dijual dengan harga Rp 40-60 juta on the road. Tawon akan memiliki 2 segmentasi pasar, yaitu sebagai pengganti bajaj, serta untuk mobil penumpang pribadi. Tawon memiliki mesin silinder kembar 650 cc (39,7 cu in) buatan Tiongkok namun mempunyai TKDN 90%, kecepatan maksimal 90 km/h (56 mph). Tawon ditawarkan dalam tiga tipe, yakni bak terbuka, minivan, dan model Tawon yang dapat mengangkut lebih dari tiga orang, dan telah diuji dengan berjalan dari Rangkasbitung ke Surabaya selama 19 jam dengan kecepatan maksimum 100 km/jam dan diluncurkan kembali pada bulan Januari 2012.[11][120][125] NIK telah dirilis pada bulan Juni 2008.[121]

PT Super Gasindo Jaya kemudian juga menampilkan mobil nasional bernama Nuri yang ditunjukkan kepada publik pada bulan Juli 2010, yang merupakan saudara dari mobil Tawon. Nuri adalah hatchback 5 pintu yang akan didukung dengan mesin 800 cc dan menerapkan teknologi dual fuel (bensin dan LPG). Proyeksi harga Nuri adalah sekitar Rp 50 juta.

Fin Komodo adalah kendaraan offroad jenis cruiser yang sangat lincah dan handal untuk digunakan sebagai kendaraan penjelajah. Bobotnya sangat ringan sehingga tenaga yang diperlukan untuk melaju relatif kecil, akibatnya konsumsi bahan bakar relatif irit. Untuk medan hutan, biasanya jarak tempuh sepanjang 100 km dapat dilalui dalam 6-7 jam dengan konsumsi bahan bakar kurang lebih hanya 5 liter, sedangkan kapasitas tangki 20 liter, sehingga dapat bertahan di dalam hutan selama 7x4 jam atau 4 hari perjalanan siang hari.

Komodo adalah kendaraan segala medan produksi PT Fin Komodo Teknologi, kendaraan ini di desain untuk menjelajah segala medan dan hanya bermesin 180 cc. Pada tahun 2009 dikeluarkan juga Komodo versi transmisi otomatis dengan mesin berkapasitas 250 cc. Pada tahun 2009, Komodo ditawarkan dengan harga antara Rp 60 juta. Mobil ini memiliki kecepatan maksimal 60 km/h (37 mph),[126] dan NIK telah dirilis pada bulan Desember 2007.[121]

Komodo diklaim merupakan hasil rancang bangun dari para insinyur yang berpengalaman dalam mendesain dan membangun pesawat terbang, sehingga dihasilkan kendaraan yang ringan dan stabil sebagai hasil kalkulasi formula yang biasa dipakai dalam struktur pesawat terbang, ringan, tetapi kuat. Komodo menggunakan mesin CVT 250 cc 4 tak otomatis dengan 2 persneling (maju dan mundur) hasil rancang bangun PT Fin Komodo Teknologi dengan sistem OEM ke pabrikan.

GEA adalah mobil perkotaan (city car) produksi kerjasama antara PT Industri Kereta Api dan BPPT. Mobil ini menggunakan mesin 640 cc asli buatan Indonesia, hasil riset BPPT. Dalam tahap pengembangan, terlihat badan mobil terbuat dari serat kaca atau fiberglass dan berkapasitas 5 orang. Selain itu, fitur dan spesifikasi lainnya adalah injeksi Bahan Bakar Elektronik, kemudi roda depan, dimensi 3.320×1.490×1.640 mm (130,7×58,7×64,6 in), jarak antar roda 1.965 mm (77,4 in), kecepatan maksimal 90 km/h (56 mph), dengan harga Rp40 juta. GEA direncanakan digunakan sebagai mobil polisi,[120][127] dan NIK untuk mobil inipun telah dirilis pada bulan Mei 2007.[121]

Mobil Wakaba (Wahana Karya Anak Bangsa) adalah buatan komunitas otomotif dan Disperindag Jawa Barat. Kendaraan ini dirancang untuk berbagai jenis, yakni mobil pengolah lahan, mobil angkut hasil pertanian, mobil pengolahan hasil pertanian, mobil angkutan umum pedesaan, mobil perkebunan serta mobil penjualan.

Maha Era Motor, dengan merek Mahator, mesin 650 cc (39,7 cu in), kecepatan maksimal 90 km/h (55,9 mph), dengan harga Rp50 juta, NIK telah dirilis pada bulan Juni 2007.[121] Mahator merupakan mobil off-road dengan TKDN 60%, sisanya impor dari Tiongkok.[128]

Esemka adalah produsen mobil lokal, awalnya merupakan hasil rakitan siswa-siswa Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) di beberapa daerah di Indonesia yang bekerja sama dengan institusi dalam negeri dan beberapa perusahaan lokal dan nasional dengan sistem rebadge. Kandungan komponen lokal berkisar antara 50-90%. Perakitan Esemka menggunakan knock-down kit mobil Cina seperti Chery Tiggo untuk Rajawali I, Foday Explorer 6 untuk Rajawali I Alpha dan Jonway A380 untuk Esemka Rajawali R2 yang kemudian di-rebadge menggunakan logo Esemka. Sejarah Esemka bisa dikatakan sangat terkait dengan politik, terutama dengan presiden Indonesia saat ini, Joko Widodo yang pertama kali memperkenalkannya saat ia menjadi Wali Kota Surakarta pada 2012. Karena itulah, para kritikus Jokowi sering mengungkit-ungkit Esemka yang memang sampai saat ini kurang terdengar gaungnya.[129][130] Akan tetapi, patut diakui juga bahwa Esemka dapat dianggap sebagai salah satu calon mobnas paling dikenal setelah Timor.

Mobil Esemka pertama dikenal sebagai Esemka Digdaya, hasil karya siswa SMKN 1 Singosari Malang (itulah kenapa pabriknya disebut ESEMKA). Kendaraan ini berjenis MPV dan dipamerkan dalam Pameran Produk Indonesia 2009 Di Kemayoran, Jakarta. Tenaga penggerak menggunakan mesin eks Timor 1500 cc. Mobil Esemka Digdaya dirancang multifungsi, baik untuk kenyamanan berkendara maupun niaga, kuat menampung hingga lima orang, dan kabin belakangnya bisa mengangkut sepeda atau barang belanjaan. Mobil Digdaya dibanderol dengan harga di bawah Rp 150 juta. Selain Esemka Digdaya, juga muncul Esemka Rajawali bermesin Esemka 1.5i, 1500 cc multi-point injection yang mampu menampung 7 orang dan dilengkapi sederet fitur. Digdaya dan Rajawali mempunyai spesifikasi mesin dan bodi yang sama, dalam pilihan antara lain bensin berkapasitas 1800 cc, 2000 cc, dan 2200 cc dan diesel sudah disiapkan 2500 cc.

Hal yang paling menentukan dari kemunculan Esemka adalah ketika mobil tersebut digunakan sebagai mobil dinas oleh Jokowi saat masih menjabat walikota Solo. Publik umumnya mengenal mobil yang digunakan Jokowi tersebut merupakan Esemka Rajawali buatan SMKN 2 Surakarta dan SMK Warga Surakarta, yang dipilih Jokowi ketika ia melihatnya di pameran hasil kreasi siswa di Ngarsapura, Solo. Pada 2 Januari 2012, mobil tersebut kemudian diserahkan ke Jokowi.[131][132] Akan tetapi, ada versi lain yang menyebutkan bahwa SMKN 1 Trucuk, Klaten (yang kemudian menggandeng 15 SMK termasuk dua SMK di Surakarta diatas) adalah asal dari mobil yang digunakan Jokowi.[133] Klaim ini didukung oleh Sukiyat, seorang guru SMKN 1 Trucuk yang mengaku sebagai "pengagas" mobil tersebut.[133][134] Menurutnya, ialah bersama murid-muridnya yang merakit mobil-mobil Esemka tersebut pada 2007-2010, yang diberi nama Kiat Esemka dan mereka kemudian menyerahkannya ke Jokowi setelah Sukiyat menawarkan kepadanya.[131][135][136] Klaim Sukiyat ini dibantah oleh salah satu guru SMKN 2 Surakarta, Dwi Budhi Martono yang menyebut bahwa Sukiyat hanya membantu melatih siswa-siswa SMKN 2 Surakarta untuk menyempurnakan mobil Esemka karya mereka pada 2011, dan proyek Esemka sebenarnya berasal dari Direktorat Pembinaan SMK Kemendikbud yang kemudian menunjuk 5 SMK (SMKN 2 Surakarta, SMKN 5 Surakarta, SMK Warga Surakarta, SMK Muhammadiyah 2 Borobudur, dan SMKN 1 Singosari) untuk mengembangkan mobil tersebut sejak 2007.[131] Belakangan, di bawah bantuan Sukiyat, menurut Dwi memang mobil tersebut diberi nama "Kiat Esemka", namun segera diubah karena merek aslinya hanya "Esemka" saja yang sudah dipegang hak mereknya di tangan PT Solo Manufaktur Kreasi.[131][137] Dalam catatan yang ada, memang Esemka Rajawali dan Garuda dirintis oleh 5 SMK tersebut, dengan menggandeng PT Autocar Industri Komponen.[138]

Yang pasti, kemudian Esemka timbul-tenggelam setelah Jokowi menjadi gubernur DKI dan presiden, meskipun diperkirakan ada ratusan unit yang sudah dibuat pada 2012-2015. Esemka kemudian sempat ingin dihidupkan kembali dengan membentuk PT Adiperkasa Citra Esemka Hero, perusahaan patungan PT Solo Manufaktur Kreasi dan PT Adiperkasa Citra Lestari (pimpinan eks-Kepala Badan Intelijen Negara Hendropriyono) pada 21 April 2015. Mereka berencana untuk memproduksi Esemka dengan menjalin kerjasama dengan perakitan Geely di Cileungsi, Jonggol, meskipun dalam perkembangannya menghilang begitu saja kemudian tanpa alasan yang jelas.[131] Kemudian, ada yang mengaitkan kesepakatan antara perusahaan Hendropriyono, PT ACL dengan Proton Malaysia pada Februari 2015 adalah untuk memuluskan mobil Esemka, namun dibantah oleh Direktur Teknik PT Solo Manufaktur Kreasi Dwi Budhi Martono.[139] Di satu sisi, beberapa pihak lain dari PT Adiperkasa Citra Esemka Hero mengiyakan rencana kerjasama Esemka-Proton, namun kandas pada 2016 akibat situasi politik di Negeri Jiran dan ketidakcocokan produk.[140][141] Baru pada 2019, Esemka berhasil meluncurkan produknya bernama Esemka Bima (pikap) dan Esemka Garuda 1 (SUV), kali ini langsung oleh PT Solo Manufaktur Kreasi.[142][143] Esemka Bima saat ini nampak lebih dipasarkan dibanding Garuda.[144] Produksi Esemka baru ini diresmikan oleh Presiden Joko Widodo pada 6 September 2019. Pada saat peresmian, Esemka yang memiliki kapasitas produksi 12.000 unit/tahun dengan TKDN yang mencapai 90% juga bekerjasama dengan PT INKA dan Pertamina.[145]

Setelah dibuat selama 6 bulan dengan biaya Rp 1,5 miliar,[146] di tahun 2012, Pusat Penelitian Tenaga Listrik dan Mekatronika LIPI berhasil mengeluarkan bus listriknya yang diluncurkan oleh Kemenristek pada 26 Juni 2012. Bus yang dirintis oleh Abdul Hapid dan kawan-kawan sejak 1997 ini diklaim mampu membawa 15 penumpang dengan kecepatan maksimal 100 km/jam, dan agar bisa melaju hingga kecepatan maksimal, membutuhkan energi 53 kWh. Secara umum, sumber tenaga bus listrik LIPI adalah baterai lithium buatan AS sebanyak 100 buah yang bisa dirangkai untuk energi sebesar 7.000 watt. Bus LIPI ini diklaim mampu menurunkan biaya operasional lebih dari 50% dan menurunkan biaya perawatan hingga 70%.[145][147] Tidak hanya itu, bus listrik LIPI direncanakan akan dikembangkan menjadi trem di Yogyakarta dan bus rapat.[148][149] Akan tetapi, saat ini bus tersebut hanya diproduksi prototipenya saja.

Mobil Listrik Ahmadi (kemudian dikenal dengan nama Evina) merupakan salah satu mobil listrik nasional. Prototipenya dibuat oleh Dasep Ahmadi di Jawa Barat dan akan disempurnakan untuk diproduksi massal pada tahun 2013. Sempat didekati oleh Menteri BUMN Dahlan Iskan, bisnis ini gagal total ketika perusahaan Dasep, PT Sarimas Ahmadi Pratama, tidak bisa memenuhi ekspetasi dengan kegagalan mobilnya ketika digunakan sejumlah perusahaan BUMN yang membelinya, sehingga ia dihukum penjara 7 tahun pada Maret 2016 atas tuduhan penipuan.[150]

Tucuxi merupakan salah satu mobil listrik nasional. Purwarupanya dibuat oleh Danet Suryatama di Yogyakarta, yang sayangnya pada 5 Januari 2013, mengalami kecelakaan saat diujicoba oleh Menteri BUMN Dahlan Iskan.

Untuk tahun 2014 Mobil Nasional Bertenaga Listrik dipersiapkan pemerintah dengan melibatkan 6 Universitas yaitu Universitas Indonesia (UI), Universitas Gadjah Mada (UGM), Institut Teknologi Bandung (ITB), Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS), Universitas Sebelas Maret Surakarta (UNS) dan Politeknik Manufaktur Bandung. Sebetulnya kendaraan listrik telah memiliki sejarah yang panjang di negara ini. Beberapa warga negara sudah lama menggunakan sepeda motor listrik, baik untuk keperluan pribadi maupun usaha. Juga pada tahun 2007 telah terbentuk Komunitas Kendaraan Listrik Indonesia, bahkan mendahului komunitas sejenis di negara-negara tetangga. Pada awalnya banyak petugas kepolisian yang heran dan menilang beberapa anggota, tetapi di antara anggota komunitas kemudian saling bertukar informasi dan akhirnya petugas kepolisian di berbagai wilayah pun memaklumi dan menerima keberadaan kendaraan ini. Dan usaha sosialisasi ini tidak berhenti hanya kepada kepolisian, tetapi juga hingga badan eksekutif maupun legislatif.

Mahesa adalah singkatan dari Moda Angkutan Hemat Pedesaan, namun juga bisa diartikan kerbau dari Klaten, Jawa Tengah. Mobil ini dirintis oleh Sukiyat (yang berperan dalam perintisan Esemka) dengan bendera PT Kiat Inovasi Indonesia,[151] dan terinspirasi dari kendaraan lokal pertanian bernama "Gandrong". Mahesa menggunakan mesin diesel 650 cc, dan berbahan bakar solar. Mobil yang memiliki kecepatan maksimum 55 km/jam ini tersedia dalam single cabin ditambah alat pertanian di belakangnya, pikap dan double cabin.[152] Rencananya saat diperkenalkan pada 2017, Mahesa akan dijual di kisaran Rp 60-70 juta sebelum pajak.[153] Karena dikerjakan dengan tangan, mobil yang dikatakan sudah dipesan hingga 6.000 unit ini hanya mampu diproduksi 1.000 unit/tahun, saat itu direncanakan dimulai pada Agustus 2018.[154] Meskipun PT Kiat kemudian bergabung membuat AMMDes dan Mahesa dijanjikan akan tetap diproduksi, namun mobil ini sampai sekarang hanya memiliki prototipenya saja dan belum mendapat izin.[155]

AMMDes (Alat Mekanis Multiguna Pedesaan, awalnya juga dikenal sebagai KMW)[151] adalah produk dari PT Kiat Mahesa Wintor Indonesia (PT KMWI), yang bekerjasama dengan 70 industri komponen nasional, diklaim sebagian besar adalah UMKM. AMMDes dibekali mesin 500 cc 1-silinder berbahan bakar diesel yang diklaim memiliki kemampuan menanjak hingga sudut 30 derajat dan memiliki daya tampung barang hingga 700 kg. Diluncurkan sejak 2018, mobil pedesaan sederhana ini dibanderol dengan harga Rp 70 juta, dengan target masyarakat desa, karena itu juga dilengkapi fasilitas seperti penggiling padi.[145][156] Mobil AMMDes lahir dari kolaborasi beberapa pihak yang telah membuat prototipe kendaraan desa sebelumnya, yaitu PT Kiat Inovasi Indonesia (Mahesa) dan PT Velasto Indonesia (anak usaha produsen komponen otomotif PT Astra Otoparts Tbk).[151]

Mobil Anak Bangsa digarap oleh PT Mobil Anak Bangsa sejak 2016, berbentuk bus listrik yang prototipenya selesai pada 2019.[157] Bus MAB direncanakan sebagai pengangkut penumpang dengan maksimal kapasitas 60 orang yang memiliki panjang 12 meter dan lebar 2,5 meter. Salah satu penyokong mobil ini, Moeldoko, menyebut bahwa bus ini sudah dipesan beberapa pihak.[145][158]

Meskipun tidak pernah ada istilah "sepeda motor nasional", namun tercatat ada beberapa perusahaan yang pernah berusaha mengembangkan merek sepeda motor dari dalam negeri. Kehadiran "motor nasional" sempat mengemuka pada tahun 1995, ketika Memperindag sempat meminta beberapa pabrikan motor untuk membuat model sepeda motor asli Indonesia.[159] Beberapa upayanya adalah:

Industri mobil nasional indonesia tergabung dalam organisasi Asianusa. Asianusa beranggotakan AG-Tawon, Wakaba, Fin-Komodo, Merapi, Gea, Borneo, Kancil, dan ITM. Kebanyakan mobil produksi anggota asosiasi ini menggunakan mesin buatan Tiongkok (di bawah 750cc), sementara komponen lain dibuat di dalam negeri.

Pernah di tahun 2012, Kementerian Perindustrian dan Asianusa setuju untuk memproduksi mobil kecil dengan kapasitas mesin 650-700 cc dan platform yang sama. Platform tersebut meliputi rangka bawah (dimensi dan suspensi mobil) serta rangkaian tenaga (mesin dan transmisi). Dengan platform yang sama, titik impas diharapkan dapat dicapai pada tingkat produksi 10.000 unit/tahun, yang jika tanpa platform yang sama, baru dapat dicapai pada tingkat produksi 28.000 unit/tahun. TKDN dari mobil kecil ini adalah sekitar 80% dan produksinya diharapkan dapat dimulai pada tahun 2013.[194]

Bisnis.com, JAKARTA - Jargon mobil nasional (mobnas) datang silih berganti dari masa ke masa, mulai dari Timor di era Presiden ke-2 Soeharto, Esemka di era Presiden ke-7 Joko Widodo alias Jokowi, hingga kini Presiden ke-8 Prabowo Subianto yang getol menggaungkan mobil Maung buatan PT Pindad (Persero).

Kendati demikian, sejatinya, hanya Timor yang pernah menyandang status sebagai mobil nasional. Kala itu, Presiden Soeharto menerbitkan Instruksi Presiden Nomor 2 Tahun 1996 tentang tentang Pembangunan Industri Mobil Nasional.

Instruksi itu meminta Menteri Perindustrian dan Perdagangan, Menteri Keuangan, dan Menteri Negara Penggerak Dana Investasi/Ketua Badan Koordinasi Penanaman Modal untuk secepatnya mewujudkan industri mobil nasional.

Berdasarkan catatan Bisnis, pada 1996, Hutomo Mandala Putra alias Tommy Soeharto pertama kali memperkenalkan mobil Timor kepada ayahnya, Soeharto, Presiden ke-2 Indonesia. Mobil itu diperkenalkan langsung di Istana Negara beberapa tahun sebelum Soeharto lengser.

Hari itu, Senin 26 Februari 1996, di Gedung Bina Graha, Istana Negara, Jakarta Pusat, Presiden Soeharto duduk di belakang setir salah satu mobil Timor, yang dibesut putra bungsunya, dengan senyum khas tersungging di wajahnya.

Tommy Soeharto melalui salah satu perusahaannya, PT Timor Putra Nasional dengan menggandeng perusahaan asal Korea Selatan, Kia Motors Corp. Program Mobnas Timor memang menjadi proyek prestisius bagi Tommy Soeharto. Visinya untuk menghadirkan mobil nasional dengan harga terjangkau itu pun diupayakan dengan gigih.

Nah, demi memuluskan proyek ambisiusnya itu, Tommy bahkan siap merelakan sebagian sahamnya di Automobili Lamborghini kepada Volkswagen (VW) Jerman. Maklum saja, pengembangan proyek mobil nasional (mobnas) Timor membutuhkan dana tak sedikit, yaitu US$150 juta.

Mobnas Timor digadang-gadang menjadi sedan termurah di kelasnya. Harganya, sekitar Rp35 juta, dibandingkan dengan kendaraan sejenis buatan Jepang, yang banderolnya sudah di atas Rp70 juta.

Timor diluncurkan dengan dua kelas: Timor S-515 dan Timor S-515i SOHC. Masing memiliki dapur pacu hingga 1.500 cc. Lantas, Timor juga bakal berencana menghadirkan mobil berjenis jip berkapasitas 2.000 cc.

“Kami akan memproduksi sedikitnya 50.000 unit sedan dan jip pada 1997 dari pabrik kami yang berlokasi di Cikampek, Jawa Barat,” ucap Tommy yang pada hari itu tengah menyerahkan 10 unit sedan Timor kepada Presiden Soeharto.

Pabrik perakitan di Cikampek itu, menurut Tommy, dibangun dengan dana investasi awal US$260 juta. Total dana investasi untuk proyek pabrik tersebut, ditaksir hingga US$800 juta. Sementara pabrik dibangun, proses produksi dilakukan di Surabaya, Jawa Timur.

Sayangnya, pada Maret 1998, proyek Mobnas Timor dijegal di sidang panel World Trade Organization (WTO) oleh Amerika Serikat, Eropa, dan Jepang. Draf laporan WTO mencatat proyek Mobnas Timor diskriminatif sehingga Indonesia harus membatalkan kebijakan tersebut.

Hal itu terekam dalam pemberitaan harian Bisnis Indonesia edisi 18 Oktober 1996. Dalam laporan bertajuk Tommy: Timor tak terpengaruh WTO, PT Timor Putra Nasional bertekad jalan terus sekalipun Indonesia kalah dalam perdebatan di WTO.

Saat itu, Tommy Soeharto yang menjabat Presdir PT Timor Putra Nasional, menegaskan bila Indonesia ternyata kalah di forum WTO, bukan berarti kegiatan produksi mobil Timor harus dicabut.

Alasannya, penggugat Indonesia di WTO (dalam hal ini Jepang, Uni Eropa, dan AS) lebih melihat dari segi mengapa pemerintah Indonesia membuat peraturan tentang Mobnas.

"Ini yang lebih penting dan akan dibahas serta diargumentasikan oleh wakil Indonesia di WTO. Selain itu, Timor kan telah menjadi aset nasional dan saya pribadi hanya akan menjadi pemegang saham minoritas jika PT Timor go-public nanti," ujarnya seperti dilaporkan Harian Bisnis Indonesia.

TENTARA NASIONAL INDONESIA

Email. [email protected]

Copyright © 2024 PUSAT PENERANGAN TNI

Jakarta (ANTARA) - Dalam konteks pembangunan nasional, pemerintah Indonesia terus berupaya meningkatkan kapasitas industri dalam negeri, termasuk sektor otomotif.Salah satu langkah penting yang diambil adalah menjadikan mobil produksi dalam negeri "Maung Pindad" untuk digunakan sebagai kendaraan dinas penyelenggara negara dalam Kabinet Merah Putih di bawah kepemimpinan Presiden Prabowo Subianto.Maung Pindad adalah julukan untuk kendaraan SUV MV3 Garuda Limousine yang diproduksi PT Pindad (Persero). Sebutan lainnya adalah Maung Garuda. Mobil ini adalah karya anak bangsa yang 70 persen komponennya merupakan produksi lokal.Penggunaan Maung Pindad sebagai mobil dinas menteri merupakan sebuah inisiatif yang tidak hanya bertujuan untuk meningkatkan produksi lokal tetapi juga untuk mendorong kemandirian ekonomi. Kebijakan ini sejalan dengan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN), yang menekankan pengembangan industri dan inovasi sebagai pilar utama pertumbuhan ekonomi.Mobil nasional bukan hanya simbol kemandirian teknologi dan industri, tetapi juga berpotensi menciptakan lapangan kerja baru, meningkatkan investasi, dan mengurangi ketergantungan pada produk asing. "Maung Pindad" diharapkan menjadi ikon kendaraan lokal yang mampu bersaing di pasar domestik maupun internasional.Ahli ekonomi industri Dr. Amir Hamzah mengungkapkan bahwa pengembangan industri otomotif nasional adalah langkah strategis untuk meningkatkan daya saing ekonomi Indonesia. Mobil nasional seperti Maung Pindad tidak hanya menyerap tenaga kerja, tetapi juga memacu inovasi di sektor-sektor terkait.Pendapat serupa juga disampaikan oleh Prof. Lita Susanti dari Universitas Gadjah Mada, yang menyatakan bahwa mobil nasional dapat menjadi pendorong untuk pengembangan industri hulu dan hilir, yang pada gilirannya dapat meningkatkan perekonomian lokal.Teori legitimasiTeori kebijakan publik, khususnya teori legitimasi, dapat digunakan untuk memahami urgensi kebijakan penggunaan mobil nasional. Teori ini menyatakan bahwa kebijakan yang diterapkan pemerintah harus mendapatkan dukungan dari masyarakat agar dapat diterima dan berhasil.Dalam konteks ini, kebijakan untuk menggunakan mobil nasional perlu dikomunikasikan secara efektif kepada masyarakat untuk meningkatkan kesadaran dan dukungan terhadap produk lokal.Selain itu, teori pembangunan berkelanjutan menunjukkan bahwa pengembangan industri lokal harus memperhatikan aspek lingkungan dan sosial. Dengan memproduksi mobil yang ramah lingkungan, pemerintah tidak hanya mendorong pertumbuhan ekonomi tetapi juga berkontribusi pada tujuan keberlanjutan.Penelitian oleh Institute for Economic and Social Research (IESR) menunjukkan bahwa industri otomotif dapat berkontribusi hingga 10 persen terhadap PDB nasional jika didukung oleh kebijakan yang tepat.Selain itu, studi oleh Lembaga Penelitian dan Pengembangan Industri (LPI) menunjukkan bahwa setiap 1.000 unit mobil yang diproduksi dapat menciptakan 1.500 lapangan kerja di sektor terkait, seperti suku cadang dan distribusi. Dalam laporan tersebut juga disebutkan bahwa pengembangan mobil nasional dapat meningkatkan ketahanan industri lokal terhadap fluktuasi pasar global. Dengan memperkuat basis produksi dalam negeri, Indonesia dapat mengurangi risiko ketergantungan pada impor, yang seringkali dipengaruhi oleh faktor eksternal.Rencana Aksi Kebijakan yang dapat dilakukanUntuk menggiatkan kembali euforia produksi mobil nasional melalui penggunaan "Maung Pindad," beberapa langkah strategis perlu diambil diantaranya adalah pemberian insentif fiskal dan non-fiskal, kampanye kesadaran masyarakat, pengembangan infrastruktur serta kemitraan dengan sektor swasta.Pemerintah harus memberikan insentif, seperti pengurangan pajak atau subsidi, untuk mendorong produksi dan pembelian mobil nasional.Di satu sisi Pemerintah perlu melakukan kampanye untuk meningkatkan kesadaran akan pentingnya menggunakan produk lokal, dengan menyoroti keunggulan dan inovasi yang ada pada "Maung Pindad."Sementara di sisi lain Pemerintah juga harus memastikan bahwa infrastruktur pendukung, seperti jalan dan jaringan distribusi, siap untuk mendukung penggunaan mobil nasional.Satu hal yang tidak boleh diabaikan adalah adanya kolaborasi antara pemerintah dan perusahaan swasta dalam pengembangan dan pemasaran mobil nasional, untuk memastikan bahwa produk ini dapat bersaing di pasar.Kebijakan penggunaan mobil nasional "Maung Pindad" merupakan langkah strategis yang tidak hanya mendukung industri otomotif tetapi juga mendorong pertumbuhan ekonomi nasional.Dengan mendorong penggunaan mobil nasional, Prabowo ingin menekankan pentingnya kemandirian industri otomotif Indonesia. Ini sejalan dengan visi untuk mengurangi ketergantungan pada produk luar negeri dan meningkatkan kapasitas produksi dalam negeri.Penggunaan mobil nasional dapat berkontribusi pada penciptaan lapangan kerja baru, baik dalam sektor produksi otomotif maupun sektor terkait, seperti suku cadang dan distribusi. Ini penting untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat.Mobil "Maung Pindad" merupakan hasil inovasi lokal. Dengan penggunaannya di pemerintahan, Prabowo ingin memberikan contoh bahwa produk dalam negeri dapat memenuhi standar dan kebutuhan yang ada.Penggunaan mobil nasional dapat berfungsi sebagai simbol kebanggaan nasional. Dalam konteks pemerintahan, ini juga menunjukkan komitmen pemerintah terhadap pengembangan produk dalam negeri.Mendorong penggunaan mobil nasional dapat membantu merangsang pertumbuhan ekonomi lokal. Prabowo berharap langkah ini dapat menciptakan multiplier effect yang menguntungkan berbagai sektor ekonomi.Melalui dukungan dari berbagai pihak, termasuk masyarakat dan sektor swasta, kebijakan ini dapat meningkatkan kemandirian ekonomi dan menciptakan lapangan kerja baru. Melalui pendekatan yang berbasis pada teori kebijakan publik dan pembangunan berkelanjutan, diharapkan euforia produksi mobil nasional dapat kembali bergelora, membawa Indonesia menuju era baru yang lebih mandiri dan berkelanjutan.*) Dr. M. Lucky Akbar, S.Sos, M.Si, Kepala Kantor Pengolahan Data dan Dokumen Perpajakan Jambi

Copyright © ANTARA 2024

Sebelum Esemka, Indonesia punya beberapa program mobil Nasional. Mobil-mobil tersebut berupa konsep dan ada juga yang sudah diproduksi. Mulai dari mobil listrik, mobil van, sedan, hingga

Asa Baru Maung Pindad

Tak hanya berhenti di Esemka, Prabowo juga kerap memamerkan mobil 'perang' bernama Maung yang diproduksi PT Pindad. Bahkan, Prabowo yang kala itu masih menjadi Menteri Pertahanan (Menhan) juga menyatakan Indonesia akan memproduksi mobil buatan dalam negeri.

Dia mengatakan bahwa pabrik-pabrik manufaktur di Indonesia akan memproduksi massal mobil Maung buatan dalam negeri.

"Kita mau pabrik-pabrik manufaktur semua di Indonesia tidak hanya dari luar negeri kita mau bikin mobil di Indonesia," katanya, dalam kegiatan Prabowo Menyapa, pada Minggu (9/7/2023).

Teranyar, mobil Maung MV3 Garuda Limousine yang diproduksi oleh PT Pindad (Persero) mencuri perhatian publik, setelah dipakai di acara Pelantikan Presiden dan Wakil Presiden, Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka pada 20 Oktober 2024 lalu.

Prabowo mendorong kemandirian industri nasional di bidang otomotif sebagai upaya maksimal dalam mewujudkan pengembangan kendaraan taktis militer dan kendaraan sipil secara utuh, mulai dari desain konsep sampai produksi massal.

Menilik spesifikasi singkatnya, Garuda memiliki bobot 2,95 ton, dimensi panjang sekitar 5,05 meter, lebar 2,06 meter, tinggi 1,87 meter serta desain long wheelbase yang nyaman dan lega. Kendaraan ini memiliki daya mesin 202 PS/199 HP, transmisi AT dengan 8 percepatan, dan memiliki kecepatan maksimum 100 km/jam.

Dengan portofolio produsen alpalhankam, Pindad menerapkan proteksi kendaraan sebagai prioritas utama dengan dibekali fitur keamanan seluruh area kendaraan meliputi body dengan material composite armor yang memiliki ketahanan terhadap amunisi kal. 7,62 x 51 mm NATO ball & kal. 5,56 x 45 mm M193.

Berbeda dengan model sebelumnya, PT Pindad berencana memproduksi massal Maung MV3 yang sebelumnya dipakai oleh Paus Fransiskus. Adapun, PT Pindad memiliki kontrak pengadaan 5.000 unit Maung MV3.

Wakil Menteri Keuangan Anggito Abimanyu mengungkapkan bahwa Presiden Prabowo Subianto memerintahkan para menteri dan eselon I untuk tidak lagi menggunakan mobil impor. Adapun saat ini, para menteri dan Anggito sendiri, menggunakan mobil Toyota Alphard.

Sebagai gantinya, para menteri wakil menteri dan eselon I akan menggunakan mobil buatan Pindad dalam kegiatan sehari-harinya sebagai pejabat negara.

"Minggu depan saya akan pakai mobil maung mobil Pindad karena Pak Prabowo sudah bilang ‘minggu depan tidak ada lagi mobil barang impor untuk menteri dan eselon I’ [meniru ucapan Prabowo] ," tuturnya dalam Rapat Terbuka Senat: Puncak Dies Natalis ke-15 & Lustrum III Sekolah Vokasi UGM Tahun 2024, Senin (28/10/2024).

Anggito menjelaskan produk tersebut 70% buatan Indonesia. Meski demikian, Anggito tidak menyebutkan jenis mobil Maung mana yang akan menteri dan eselon I gunakan ke depan.

Pada perkembangan terkini, Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mengklarifikasi pernyataan Anggito, bahwa pernyataan itu disampaikan bukan dalam rangka sebagai perencanaan, melainkan dalam rangka memberikan contoh untuk penggunaan produksi dalam negeri untuk mendorong industri lokal.

Di tengah ingar bingar tersebut, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) mengungkap sejumlah permasalahan yang dialami oleh Pindad terkait keuangan hingga pengelolaan dana pensiun.

Temuan itu tertuang pada Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) atas pengelolaan dan pertanggungjawaban keuangan 2021 hingga semester I/2023 pada PT Pindad, anak perusahaan, dan perusahaan terafiliasi lainnya.

LHP tersebut disampaikan langsung oleh Anggota VIII BPK/Pimpinan Pemeriksaan Keuangan Negara VII Slamet Edy Purnomo kepada jajaran Direksi Pindad di Kantor Pusat BPK, Senin (21/10/2024).

Pemeriksaan Dengan Tujuan Tertentu (PDTT) dilakukan oleh BPK terhadap Pindad guna memastikan perseroan sebagai entitas negara telah menjalankan tugas dan fungsinya sesuai dengan amanat pasal 33 ayat (2) dan (4) Undang-Undang Dasar (UUD) 1945.

"Berdasarkan hasil pemeriksaan, BPK menemukan sejumlah permasalahan. Salah satunya adalah PT Pindad terbebani biaya ekonomi dan mengalami financial distress," ungkap Slamet, dikutip dari siaran pers yang dibagikan di laman resmi BPK, Kamis (24/10/2024).

Selain itu, BPK menemukan beberapa permasalahan lainnya seperti pengakuan aset dan pendapatan yang belum memadai dan tidak sesuai dengan Standar Akuntansi Pemerintahan (SAP). Tidak hanya itu, auditor negara menemukan serta pengelolaan dana pensiun Pindad yang tidak prudent, kurang transparan, dan tidak akuntabel.

Atas permasalahan tersebut, BPK merekomendasikan kepada Dewan Komisaris Pindad untuk meningkatkan pengawasan, serta meminta Direksi untuk menerapkan prinsip tata kelola yang lebih ketat dan bertanggung jawab.

"BPK menilai temuan-temuan ini harus menjadi perhatian serius manajemen PT Pindad, khususnya pada temuan terkait financial distress, pengakuan aset, dan pengelolaan dana pensiun," tegas Anggota VII BPK itu.

Kendati demikian, BPK mengapresiasi langkah-langkah yang telah diambil Pindad dalam menindaklanjuti rekomendasi sebelumnya. Dari 87 rekomendasi yang diberikan, tingkat penyelesaian PT Pindad mencapai 94,25%, melampaui target penyelesaian BPK sebesar 75%.

All Channels MARKET NEWS ENTREPRENEUR SHARIA TECH LIFESTYLE OPINI MY MONEY CUAP CUAP CUAN RESEARCH

All Article Types Artikel Foto Video Infografis

Proyek Mobnas Indonesia lebih terfokus pada perakitan dengan komponen impor dan kurang adanya strategi pengembangan teknologi lokal.

Soekarno M. Hatta Soedirman O. Soemohardjo HB IX Gatot Soebroto Laupase Malau A.H Nasutiondan lainnya...

Revolusi Nasional Indonesia[e] adalah sebuah konflik bersenjata dan pertentangan diplomasi antara Republik Indonesia yang baru lahir melawan Kerajaan Belanda yang dibantu oleh pihak Sekutu, diwakili oleh Inggris. Rangkaian peristiwa ini terjadi mulai dari mendaratnya pasukan sekutu Inggris pertama kali di Jakarta pada 29 September 1945 yang dipimpin oleh Letnan Jenderal Christinson setelah ditandatanganinya Civil Affairs Agreement. Konflik ini berlangsung selama 4 tahun hingga pengakuan kemerdekaan Indonesia oleh Kerajaan Belanda pada 27 Desember 1949.[5] Meskipun demikian, gerakan revolusi itu sendiri telah dimulai pada tahun 1908, yang saat ini diperingati sebagai tahun dimulainya kebangkitan nasional Indonesia.

Selama sekitar empat tahun, beberapa peristiwa berdarah terjadi secara sporadis. Selain itu, terdapat pula pertikaian politik serta dua intervensi internasional. Dalam peristiwa ini, pasukan Belanda hanya mampu menguasai kota-kota besar di pulau Jawa dan Sumatra, tetapi gagal mengambil alih kendali di desa dan daerah pinggiran. Karena sengitnya perlawanan bersenjata serta perjuangan diplomatik, Belanda berhasil dibuat tertekan untuk mengakui kemerdekaan Indonesia.

Revolusi ini berujung pada berakhirnya pemerintahan kolonial Hindia Belanda dan mengakibatkan perubahan struktur sosial di Indonesia; kekuasaan raja-raja mulai dikurangi atau dihilangkan. Peristiwa ini dikenal dengan "revolusi sosial", yang terjadi di beberapa bagian di pulau Sumatra.

Pergerakan nasionalis untuk mendukung kemerdekaan Indonesia dari Kerajaan Belanda, seperti Budi Utomo, Partai Nasional Indonesia, Sarekat Islam dan Partai Komunis Indonesia tumbuh dengan cepat di pertengahan abad ke-20. Budi Utomo, Sarekat Islam dan gerakan nasional lainnya memprakarsai strategi kerja sama dengan mengirim wakil mereka ke Volksraad (dewan rakyat) dengan harapan Indonesia akan diberikan hak memerintah diri sendiri tanpa campur tangan Kerajaan Belanda.[7] Sedangkan gerakan nasionalis lainnya memilih cara nonkooperatif dengan menuntut kebebasan pemerintahan Indonesia sendiri dari Belanda. Pemimpin gerakan ini adalah Soekarno dan Mohammad Hatta, dua orang mahasiswa nasionalis yang kelak menjadi presiden dan wakil presiden pertama. Pergerakan ini dimudahkan dengan adanya kebijakan Politik Etis yang dijalankan oleh Belanda.

Pendudukan Indonesia oleh Jepang selama tiga setengah tahun masa Perang Dunia Kedua merupakan faktor penting untuk revolusi berikutnya. Belanda hanya memiliki sedikit kemampuan untuk mempertahankan penjajahan di Hindia Belanda. Hanya dalam waktu tiga bulan, Jepang berhasil menguasai Sumatra. Jepang kemudian berusaha untuk mengambil hati kaum nasionalis dengan menjanjikan kemerdekaan untuk Indonesia dan mengizinkan penggunaan bahasa Indonesia di ruang publik. Ini menimbulkan lahirnya organisasi-organisasi perjuangan di seluruh negeri.

Ketika Jepang berada di ambang kekalahan perang, Belanda kembali untuk merebut kembali bekas koloni mereka. Pada 7 September 1944, Perdana Menteri Jepang Kuniaki Koiso menjanjikan kemerdekaan kepada Indonesia, walaupun tidak menetapkan tanggal resmi.

Pada akhir bulan Agustus 1945, pemerintahan republikan telah berdiri di Jakarta. Kabinet Presidensial dibentuk, dengan Soekarno sendiri sebagai ketuanya. Hingga pemilihan umum digelar, Komite Nasional Indonesia Pusat dibentuk untuk membantu Presiden dan bertindak hampir sebagai badan legislatif. Komite serupa juga dibentuk di tingkat provinsi dan kabupaten. Mendengar berita pembentukan pemerintah pusat di Jakarta, beberapa raja menyatakan menggabungkan diri dengan Indonesia. Sementara beberapa lainnya belum menyatakan sikap atau menolak mentah-mentah, terutama yang pernah didukung oleh pemerintah Belanda.

Khawatir Belanda akan berusaha merebut kembali kekuasaan di Indonesia, pemerintah yang baru dibentuk tersebut dengan cepat menyelesaikan persoalan administrasi. Saat itu, pemerintahan masih sangat terpusat di pulau Jawa, sementara kontak ke luar pulau masih sangat sedikit. Pada 14 November 1945, Sutan Sjahrir menjadi perdana menteri pertama mengetuai kabinet Sjahrir I.

Beberapa minggu setelah Jepang menyerah, Giyugun dan Heiho dibubarkan oleh pemerintah Jepang. Struktur komando dan keanggotaan PETA dan Heiho pun hilang. Karena itu, pasukan republikan yang mulai tumbuh di bulan September, tetapi lebih banyak berupa kelompok-kelompok kecil milisi pemuda yang tidak terlatih, yang biasanya dipimpin oleh seorang pemimpin karismatik. Ketiadaan struktur militer yang patuh pada pemerintah pusat menjadi masalah utama revolusi kala itu. Dalam masa awal pembentukan struktur militer, perwira Indonesia yang dilatih Jepang mendapat pangkat yang lebih tinggi dibanding perwira yang dilatih oleh Belanda. Pada 12 November 1945, dalam sebuah konferensi antar panglima-panglima divisi militer di Yogyakarta seorang mantan guru sekolah berumur 30 tahun bernama Sudirman terpilih menjadi panglima Tentara Keamanan Rakyat, bergelar "Panglima Besar".

Pernyataan van Mook untuk tidak berunding dengan Soekarno adalah salah satu faktor yang memicu perubahan sistem pemerintahan dari presidensial menjadi parlementer. Gelagat ini sudah terbaca oleh pihak Republik Indonesia, karena itu sehari sebelum kedatangan Sekutu, tanggal 14 November 1945, Soekarno sebagai kepala pemerintahan republik diganti oleh Sutan Sjahrir yang seorang sosialis dianggap sebagai figur yang tepat untuk dijadikan ujung tombak diplomatik, bertepatan dengan naik daunnya partai sosialis di Belanda.

Terjadinya perubahan besar dalam sistem pemerintahan Republik Indonesia (dari sistem Presidensiil menjadi sistem Parlementer) memungkinkan perundingan antara pihak RI dan Belanda. Dalam pandangan Inggris dan Belanda, Sutan Sjahrir dinilai sebagai seorang moderat, seorang intelek, dan seorang yang telah berperang selama pemerintahan Jepang.

Ketika Syahrir mengumumkan kabinetnya, 15 November 1945, Letnan Gubernur Jendral van Mook mengirim kawat kepada Menteri Wilayah Luar Negeri (Minister of Overseas Territories, Overzeese Gebiedsdelen), J.H.A. Logemann, yang berkantor di Den Haag: "Mereka sendiri [Sjahrir dan Kabinetnya] dan bukan Soekarno yang bertanggung jawab atas jalannya keadaan". Logemann sendiri berbicara pada siaran radio BBC tanggal 28 November 1945, "Mereka bukan kolaborator seperti Soekarno, presiden mereka, kita tidak akan pernah dapat berurusan dengan Dr Soekarno, kita akan berunding dengan Sjahrir". Tanggal 6 Maret 1946 kepada van Mook, Logemann bahkan menulis bahwa Soekarno adalah persona non grata.

Pihak Republik Indonesia memiliki alasan politis untuk mengubah sistem pemerintahan dari Presidensiil menjadi Parlementer, karena seminggu sebelum perubahan pemerintahan itu, Den Haag mengumumkan dasar rencananya. Ir Soekarno menolak hal ini, sebaliknya Sjahrir mengumumkan pada tanggal 4 Desember 1945 bahwa pemerintahnya menerima tawaran ini dengan syarat pengakuan Belanda atas Republik Indonesia.

Menjelang berakhirnya tahun 1945, situasi keamanan ibu kota Jakarta (saat itu masih disebut Batavia) makin memburuk dengan terjadinya saling serang antara kelompok pro-kemerdekaan dan kelompok pro-Belanda. Ketua Komisi Nasional Jakarta, Mr. Mohammad Roem mendapat serangan fisik. Demikian pula, Perdana Menteri Syahrir dan Menteri Penerangan Mr. Amir Sjarifuddin juga nyaris dibunuh simpatisan Belanda (NICA).[15] Karena itu pada tanggal 1 Januari 1946, Presiden Soekarno memberikan perintah rahasia kepada Balai Yasa Manggarai untuk segera menyiapkan rangkaian kereta api demi menyelamatkan para petinggi negara. Pada tanggal 3 Januari 1946 diputuskan bahwa Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Hatta beserta beberapa menteri/staf dan keluarganya meninggalkan Jakarta dan pindah ke Yogyakarta sekaligus pula memindahkan ibu kota; meninggalkan Perdana Menteri Sutan Syahrir dan kelompok yang bernegosiasi dengan Belanda di Jakarta.[16] Perpindahan dilakukan menggunakan kereta api berjadwal khusus, sehingga disebut sebagai KLB (Kereta Luar Biasa).

Perjalanan KLB ini menggunakan lokomotif uap nomor C2849 bertipe C28 buatan pabrik Henschel, Jerman, dengan rangkaian kereta inspeksi yang biasa digunakan untuk Gubernur Jenderal Hindia Belanda, yang disediakan oleh Djawatan Kereta Api (DKA).[15][17] Rangakaian terdiri dari delapan kereta, mencakup satu kereta bagasi, dua kereta penumpang kelas 1 dan 2, satu kereta makan, satu kereta tidur kelas 1, satu kereta tidur kelas 2, satu kereta inspeksi untuk presiden, dan satu kereta inspeksi untuk wakil presiden.[15] Masinis adalah Kusen, juruapi (stoker) Murtado dan Suad, serta pelayan KA Sapei.[15] Perjalanan diawali sore hari, dengan KLB langsir dari Stasiun Manggarai menuju Halte Pegangsaan (sekarang sudah dibongkar) dan kereta api berhenti tepat di belakang kediaman resmi presiden di Jalan Pegangsaan Timur 56.[15] Setelah lima belas menit embarkasi, KLB berangkat ke Stasiun Manggarai dan memasuki jalur 6. Kereta api melanjutkan perjalanan ke Jatinegara dengan kecepatan 25 km per jam. KLB berhenti di Stasiun Jatinegara menunggu signal aman dari Stasiun Klender. Menjelang pukul 19 KLB melanjutkan perjalanan dengan lampu dimatikan dan kecepatan lambat agar tidak menarik perhatian pencegat kereta api yang marak di wilayah itu.[15] Barikade gerbong kosong juga diletakkan untuk menutupi jalur rel dari jalan raya yang sejajar di sebelahnya.

Selepas Setasiun Klender, lampu KLB dinyalakan kembali dan kereta api melaju dengan kecepatan maksimum 90 km per jam. Pada pukul 20 KLB berhenti di Stasiun Cikampek. Pada pukul 01 tanggal 4 Januari 1946 KLB berheti di Stasiun Purwokerto, dan kemudian melanjutkan perjalanan hingga tiba pada pukul 07 di Stasiun Yogyakarta.[15]

Sebelum berita tentang, proklamasi kemerdekaan Indonesia menyebar ke pulau-pulau lain, banyak masyarakat Indonesia yang jauh dari ibu kota Jakarta tidak percaya. Saat berita mulai menyebar, banyak dari orang Indonesia datang untuk menyatakan diri mereka sebagai pro-republik, dan suasana revolusi menyapu seluruh negeri. Kekuatan luar di dalam negeri telah menyingkir, seminggu sebelum tentara Sekutu masuk ke Indonesia, dan Belanda telah mulai melemah kekuatannya dikarenakan perang. Di sisi lain, pasukan Jepang, sesuai dengan ketentuan diminta untuk menyerah dan meletakkan senjata, dan juga menjaga ketertiban umum.

Kevakuman kekuasaan selama berminggu-minggu setelah Jepang menyerah menciptakan suasana ketidakpastian di dalam politik Indonesia saat itu, tetapi hal ini menjadi suatu kesempatan bagi rakyat. Banyak pemuda Indonesia bergabung dengan kelompok perjuangan pro-republik dan laskar-laskar. Laskar-laskar yang paling terorganisir antara lain kelompok PETA dan Heiho yang dibentuk oleh Jepang. Namun pada saat itu laskar-laskar rakyat berdiri sendiri dan koordinasi perjuangan cukup kacau. Pada minggu-minggu pertama, tentara Jepang menarik diri dari daerah perkotaan untuk menghindari konfrontasi dengan rakyat.

Pada bulan September 1945, pemerintah republik yang dibantu laskar rakyat telah mengambil alih kendali atas infrastruktur-infrastruktur utama, termasuk stasiun kereta api dan trem di kota-kota besar di Jawa. Untuk menyebarkan pesan-pesan revolusioner, para pemuda mendirikan stasiun radio dan koran, serta grafiti yang penuh dengan sentimen nasionalis. Di sebagian besar pulau-pulau di Indonesia, komite perjuangan dan laskar-laskar milisi dibentuk. Koran kaum republik dan jurnal-jurnal perjuangan terbit di Jakarta, Yogyakarta dan Surakarta, yang betujuan memupuk generasi penulis yang dikenal sebagai Angkatan 45.

Para pemimpin republik berjuang untuk menyatukan sentimen yang menyebar di masyarakat, karena ada beberapa kelompok yang menginginkan revolusi fisik, dan yang lain lebih memilih menggunakan cara pendekatan damai. Beberapa pemimpin seperti Tan Malaka dan pemimpin kiri lainnya menyebarkan gagasan bahwa revolusi harus dipimpin oleh para pemuda. Soekarno dan Hatta, sebaliknya, lebih tertarik dalam perencanaan sebuah pemerintahan dan lembaga-lembaga negara untuk mencapai kemerdekaan melalui diplomasi. Massa pro-revolusi melakukan demonstrasi di di kota-kota besar, salah satunya dipimpin Tan Malaka di Jakarta dan diikuti lebih dari 200,000 orang. Tetapi aksi ini yang akhirnya berhasil dipadamkan oleh Soekarno-Hatta, karna mengkhawatirkan pecahnya aksi-aksi kekerasan.

Pada September 1945, banyak pemuda Indonesia yang menyatakan diri "siap mati untuk kemerdekaan 100%" karna tidak dapat menahan kesabaran mereka. Pada saat itu, penculikan kaum "nonpribumi" - interniran Belanda, orang-orang Eurasia, Maluku dan Tionghoa - sangat umum terjadi, karena mereka dianggap sebagai mata-mata. Kekerasan menyebar dari seluruh negeri, sementara pemerintah pusat di Jakarta terus menyerukan kepada para pemuda agar dapat tenang. Namun, pemuda yang mendukung perjuangan bersenjata memandang pimpinan yang lebih tua sebagai para "pengkhianat revolusi", yang pada akhirnya sering menyebabkan meletusnya konflik internal di kalangan masyarakat sipil.

Pihak Belanda menuduh Soekarno dan Hatta berkolaborasi dengan Jepang dan mencela bahwa kemerdekaan Indonesia merupakan hasil dari fasisme Jepang. Pemerintahan Hindia Belanda telah menerima sepuluh juta dolar dari Amerika Serikat untuk mendanai usaha pengembalian Indonesia sebagai jajahan mereka kembali.[23]

Meskipun begitu, situasi Belanda pada saat itu lemah setelah diamuk Perang Dunia Kedua di Eropa dan baru bisa mengatur kembali militernya pada awal 1946. Jepang dan kekuatan sekutu lainnya enggan menjadi pelaksana tugas pemerintahan di Indonesia. Sementara Amerika Serikat sedang fokus bertempur di kepulauan Jepang, Indonesia diletakkan di bawah kendali seorang laksamana dari Angkatan Laut Britania Raya, Laksamana Earl Louis Mountbatten, Panglima Tertinggi Sekutu untuk Komando Asia Tenggara. Enklaf-enklaf Sekutu muncul di Kalimantan, Morotai, dan beberapa bagian di Irian Jaya; para pegawai sipil Belanda telah kembali ke daerah-daerah tersebut. Di area yang dikuasa angkatan laut Jepang, kedatangan pasukan Sekutu segera saja menghentikan aksi-aksi revolusioner, dimana tentara Australia (diikuti pasukan Belanda dan pegawai-pegawai sipilnya), dengan cepat menguasai daerah-daerah yang sebelumnya dikuasai Jepang, kecuali Bali dan Lombok. Karena tidak adanya perlawanan berarti, dua divisi tentara Australia dengan mudah menguasai beberapa daerah di bagian Timur Indonesia.

Inggris ditugaskan untuk mengatur kembali jalannya pemerintahan sipil di Jawa. Belanda mengambil kesempatan ini untuk menegakkan kembali pemerintahan kolonial lewat NICA dan terus mengklaim kedaulatan atas Indonesia.. Meskipun begitu, tentara Persemakmuran belum mendarat di Jawa sampai September 1945. Tugas mendesak Lord Mountbatten adalah pemulangan 300,000 orang Jepang dan membebaskan para tawanan perang. Ia tidak ingin (dan tidak berdaya) untuk memperjuangakan pengembalian Indonesia pada Belanda.. Tentara Inggris pertama kali mendarat di Medan, Padang, Palembang, Semarang dan Surabaya pada bulan Oktober. Dalam usaha menghindari bentrokan dengan orang-orang Indonesia, komandan pasukan Inggris Letjen Sir Philip Christison, mengirim para prajurit Belanda yang dibebaskan ke Indonesia Timur, dimana pendudukan kembali Belanda berlangsung mulus.. Tensi memuncak saat tentara Inggris memasuki Jawa dan Sumatra; bentrokan pecah antara kaum republikan melawan para "musuh negara", seperti tawanan Belanda, KNIL, orang Tionghoa, orang-orang Indo dan warga sipil Jepang.

Terdapat berbagai pertempuran yang terjadi pada saat masuknya Sekutu dan NICA ke Indonesia, yang saat itu baru menyatakan kemerdekaannya. Pertempuran yang terjadi di antaranya adalah:

Revolusi sosial yang terjadi setelah proklamasi berupa penentangan terhadap pranata sosial Indonesia yang terlanjur terbentuk pada masa penjajahan Belanda, dan terkadang juga merupakan hasil kebencian terhadap kebijakan pada masa penjajahan Jepang. Di seluruh negara, masyarakat bangkit melawan kekuasaan aristokrasi dan kepala daerah dan mencoba untuk mendorong penguasaan lahan dan sumber daya alam atas nama rakyat. Kebanyakan revolusi sosial ini berakhir dalam waktu singkat, dan dalam kebanyakan kasus gagal terjadi.

Kultur kekerasan dalam konflik yang dalam memecah belah negara ini saat dalam pengusaan Belanda sering kali terulang di paruh akhir abad keduapuluh. Istilah revolusi sosial banyak digunakan untuk aktivitas berdarah yang dilakukan kalangan kiri yang melibatkan baik niat altruistik, untuk mengatur revolusi sosial sebenarnya, dengan ekspresi balas dendam, kebencian, dan pemaksaan kekuasaan. Kekerasan adalah salah satu dari sekian banyak hal yang dipelajari rakyat selama masa penjajahan Jepang, dan tokoh-tokoh yang diidentifikasi sebagai tokoh feodal, antara lain para raja, bupati, atau kadang sekadar orang-orang kaya, sering kali menjadi sasaran penyerangan, kadang disertai pemenggalan, serta pemerkosaan juga sering menjadi senjata untuk melawan wanita-wanita feodal. Di daerah pesisir Sumatra dan Kalimantan yang dikuasai kesultanan, misalnya, para sultan dan mereka yang mendapat kekuasaan dari Belanda, langsung mendapat serangan begitu pemerintahan Jepang angkat kaki. Penguasa sekuler Aceh, yang menjadi basis kekuasaan Belanda, turut dieksekusi atau dipenjara.

Kebanyakan orang Indonesia pada masa ini hidup dalam ketakutan dan kebimbangan, hal ini terutama terjadi pada populasi yang mendukung kekuasaan Belanda atau mereka yang hidup di bawah kontrol Belanda. Teriakan kemerdekaan yang begitu populer, "Merdeka ataoe mati!" sering kali menjadi pembenaran untuk pembunuhan yang terjadi di daerah kekuasaan Republik. Para pedagang sering kali mengalami situasi sulit ini. Di satu sisi, mereka ditekan oleh pihak Republik untuk memboikot semua ekspor ke Belanda, sementara di sisi lain polisi Belanda juga tidak mengenal ampun bagi para penyelundup yang justru menjadi tumpuan ekonomi pihak Republik. Di beberapa wilayah, istilah "kedaulatan rakyat" yang diamanatkan dalam pembukaan UUD 1945 dan sering digunakan para pemuda untuk menuntut kebijakan proaktif dari para pemimpin, sering kali berakhir tidak hanya menjadi tuntutan atas komoditas gratis, tetapi juga perampokan dan pemerasan.

Bulan Agustus pemerintah Belanda melakukan usaha lain untuk memecah halangan dengan menunjuk tiga orang Komisi Jendral datang ke Jawa dan membantu Van Mook dalam perundingan baru dengan wakil-wakil republik itu. Konferensi antara dua belah pihak diadakan di bulan Oktober dan November di bawah pimpinan yang netral seorang komisi khusus Inggris, Lord Killearn. Bertempat di bukit Linggarjati dekat Cirebon. Setelah mengalami tekanan berat -terutama Inggris- dari luar negeri, dicapailah suatu persetujuan tanggal 15 November 1946 yang pokok-pokoknya sebagai berikut:[26]

Untuk ini Kalimantan dan Timur Raya akan menjadi komponennya. Sebuah Majelis Konstituante didirikan, yang terdiri dari wakil-wakil yang dipilih secara demokratis dan bagian-bagian komponen lain. Indonesia Serikat pada gilirannya menjadi bagian Uni Indonesia-Belanda bersama dengan Belanda, Suriname dan Curasao. Hal ini akan memajukan kepentingan bersama dalam hubungan luar negeri, pertahanan, keuangan dan masalah ekonomi serta kebudayaan. Indonesia Serikat akan mengajukan diri sebagai anggota PBB. Akhirnya setiap perselisihan yang timbul dari persetujuan ini akan diselesaikan lewat arbitrase.

Kedua delegasi pulang ke Jakarta, dan Soekarno-Hatta kembali ke pedalaman dua hari kemudian, pada tanggal 15 November 1946, di rumah Sjahrir di Jakarta, berlangsung pemarafan secara resmi Perundingan Linggarjati. Sebenarnya Soekarno yang tampil sebagai kekuasaan yang memungkinkan tercapainya persetujuan, namun, Sjahrir yang diidentifikasikan dengan rancangan, dan yang bertanggung jawab bila ada yang tidak beres.

Pada tengah malam 20 Juli 1947, Belanda meluncurkan serangan militer yang disebut sebagai Agresi Militer Belanda I (Operatie Product), dengan tujuan utama menghancurkan kekuatan republikan. Aksi militer ini melanggar perjanjian Linggarjati, dan dianggap pemerintah belanda sebagai aksi polisionil untuk penertiban dan penegakkan hukum. Pasukan Belanda berhasil memukul pasukan Republikan dari Sumatra serta Jawa Barat dan Jawa Timur. Republikan kemudian memindahkan pusatnya ke Yogyakarta. Pasukan Belanda juga menguasai perkebunan di Sumatra, instalasi minyak dan batu bara, serta pelabuhan-pelabuhan besar di Jawa.

Negara-negara lain bereaksi negatif terhadap aksi Belanda ini. Australia, India, Uni Soviet, dan Amerika Serikat segera mendukung Indonesia. Di Australia, misalnya, kapal berbendera Belanda diboikot mulai bulan September 1945. Dewan keamanan PBB mulai bertindak aktif dengan membentuk Komisi Tiga Negara untuk mendorong negosiasi. PBB kemudian mengeluarkan resolusi untuk gencatan senjata. Pada saat aksi militer ini terjadi, tepatnya pada 9 Desember 1947, Pasukan Belanda membantai banyak warga sipil di Desa Rawagede (saat ini wilayah Balongsari di Karawang, Jawa Barat.

Pada 18 September 1948 Republik Soviet Indonesia diproklamasikan di Madiun[27] oleh anggota PKI yang berniat menjalankan sebuah pusat pembangkangan atas kepemimpinan Soekarno Hatta, yang dianggap budak Jepang dan Amerika. Pertempuran antara TNI dan PKI ini, tetap dimenangkan pihak TNI dalam beberapa minggu, dan pemimpinnya, Muso, terbunuh. RM Suryo, Gubernur Jawa Timur pada masa itu, beberapa petugas kepolisian, dan pemimpin religius gugur di tangan pemberontak. Kemenangan ini menghilangkan gangguan konsentrasi atas perjuangan revolusi nasional dan memperkuat simpati Amerika yang awalnya hanya berupa perasaan senasib dalam bentuk anti kolonialisme, menjadi dukungan diplomatik. Di dunia internasional, pihak Republik Indonesia mengukuhkan sikap anti komunis dan menjadi calon sekutu potensial di awal era perang dingin antara Amerika Serikat dan blok Soviet.[28]

Pemerintah berencana membubarkan Kesatuan Gerilya Sulawesi Selatan (KGSS) dan anggotanya disalurkan ke masyarakat. Tenyata Kahar Muzakkar menuntut agar Kesatuan Gerilya Sulawesi Selatan dan kesatuan gerilya lainnya dimasukkan dalam satu brigade yang disebut Brigade Hasanuddin di bawah pimpinanya.

Tuntutan itu ditolak karena banyak di antara mereka yang tidak memenuhi syarat untuk dinas militer. Pemerintah mengambil kebijaksanaan menyalurkan bekas gerilyawan itu ke Corps Tjadangan Nasional (CTN). Pada saat dilantik sebagai Pejabat Wakil Panglima Tentara dan Tetorium VII, Kahar Muzakkar beserta para pengikutnya melarikan diri ke hutan dengan membawa persenjataan lengkap dan mengadakan pengacauan. Kahar Muzakkar mengubah nama pasukannya menjadi Tentara Islam Indonesia dan menyatakan sebagai bagian dari DI/TII Kartosuwiryo pada tanggal 7 Agustus 1953.

Awalnya TNI tidak merespon karena sedang berkonsentrasi melawan agresi Belanda. Namun setelah seluruh teritori kembali disatukan pada 1950, maka pemerintah Republik Indonesia mulai menganggap Darul Islam sebagai ancaman, terutama setelah beberapa provinsi lainnya menyatakan bergabung dalam Darul Islam. Perlawanan ini berhasil dipadamkan mulai tahun 1962, dan tanggal 3 Februari 1965, Kahar Muzakkar tertembak mati oleh pasukan TNI dalam sebuah baku tembak.

Perkiraan yang meninggal dalam peperangan untuk kemerdekaan Indonesia dari rakyat sipil dan pejuang yang terbunuh sebanyak 97,421 hingga 100,000 korban jiwa dari pihak Indonesia.[29] Selain itu, tentara Inggris yang berjumlah 980 diperkirakan dibunuh dan hilang di Jawa dan Sumatra antara tahun 1945-1946, kebanyakan merupakan prajurit India. Sedangkan untuk Belanda lebih dari 4000 tentaranya kehilangan nyawa mereka di Indonesia. Lebih banyak lagi tentara Jepang gugur, tentara Jepang yang meninggal dalam peperangan sebanyak 1057 jiwa. Selain itu, lebih dari tujuh juta jiwa mengungsi di Sumatra dan Jawa.[30]

Tentara Jepang yang ikut serta dalam perang kemerdekaan ini dan tidak kembali ke Jepang bahkan setelah Indonesia merdeka, diberi penghargaan oleh pemerintah Indonesia dan juga diberikan uang pensiun. Ketika meninggal, mereka dimakamkan dalam pemakaman kenegaraan oleh militer Indonesia.

Gerakan revolusi nasional Indonesia ini memberikan efek langsung pada kondisi ekonomi, sosial dan budaya Indonesia itu sendiri, di antaranya kekurangan bahan makanan, dan bahan bakar. Ada dua efek dalam ekonomi yang ditimbulkan oleh gerakan nasional Indonesia yang berdampak langsung dengan ekonomi Kerajaan Belanda dan Indonesia, keduanya kembali untuk membangun ekonomi mereka secara berkelanjutan setelah Perang Dunia II dan gerakan revolusi Indonesia. Republik Indonesia mengatur kembali setiap hal yang dibutuhkan oleh rakyat Indonesia yang awalnya diblokade oleh Belanda.

Pada tahun 2013, pemerintah Belanda meminta maaf kepada rakyat Indonesia atas kekerasan yang dilancarkan selama perang kemerdekaan.[31] Pada 2016, Menteri Luar Negeri Belanda Bert Koenders meminta maaf atas kekejaman tentara Belanda dalam pembantaian 400 rakyat Indonesia di sebuah desa pada tahun 1947.[32]

Dalam kunjungan kenegaraannya pada tahun 2020, Raja Belanda Willem-Alexander di hadapan Presiden Joko Widodo menyampaikan permintaan maaf terhadap brutalitas tentara Belanda.[33] Permintaan maaf ini dianggap cukup mengejutkan karena permintaan maaf langsung dari raja menuai opini pro kontra di Belanda.[34]

Pada 17 Februari 2022, sejarahwan Belanda merilis penelitian yang berjudul Kemerdekaan, Dekolonisasi, Kekerasan dan Perang di Indonesia, 1945-1950. Penelitian ini diikuti oleh ahli sejarahwan dari 3 institusi: Koninklijk Instituut voor Taal-, Land- en Volkenkunde (KITLV), Institusi Belanda untuk Sejarah Militer (NIMH) dan Institut NIOD untuk Pembelajaran Perang, Holokaus dan Genosida.[35][36] Penelitian ini juga dibantu oleh 17 sejarahwan Indonesia dari Universitas Gadjah Mada.[37] Hasil penelitian tersebut menyatakan bahwa Belanda telah menggunakan kekerasan yang sistematis dan berlebihan selama perang. Menurut tinjauan tersebut, "Penggunaan kekerasan ekstrem oleh angkatan bersenjata Belanda tidak hanya meluas, tetapi juga sering disengaja" dan "diizinkan di setiap level: politik, militer, dan hukum." Pada hari yang sama setelah penelitian itu dirilis, Perdana Menteri Belanda Mark Rutte menyatakan permintaan maaf atas kekerasan ekstrim yang dilakukan oleh Angkatan Bersenjata Belanda secara sistematis dan tersebar luas dan kegagalan pemerintahan Belanda dalam mengakuinya.[33][38]

Meskipun telah meminta maaf, pemerintah Belanda masih belum mengakui sepenuhnya bahwa beberapa peristiwa seperti Pembantaian Westerling adalah kejahatan perang. Pada tahun 1969, setelah wawancara fantastis oleh seorang veteran Belanda yang aktif di Indonesia, pemerintah Belanda menyatakan bahwa walaupun ada tindakan kekerasan yang berlebihan, seluruh pasukan Belanda secara keseluruhan mematuhi kaidah perang dan pernyataan ini tidak pernah direvisi.[39]

Copyright © 2024 - Bisnis Indonesia - 243

Indonesia menggandeng Pindad untuk menciptakan mobil nasional. Apa saja tantangan dan peluang yang dihadapi dalam mewujudkan proyek ambisius ini?

Jelajahi sejarah, spesifikasi, dan kontroversi Mobil Timor, ikon otomotif Indonesia. Temukan jawaban apakah mobil nasional ini masih layak dibeli.

Sekretaris Jenderal Relawan Pengusaha Muda Nasional (Repnas) Alvin Kennedy menyebut pihaknya mendukung penuh ambisi Calon Presiden (Capres) nomor urut 2 Prabowo Subianto menciptakan Mobil Nasional sebagai bagian revitalisasi industri otomotif nasional.

Ekspansi yang dilakukan oleh VinFast ke pasar Amerika Serikat, tampaknya tidak berjalan mulus. Hal ini dikarenakan, total penjualan yang mereka bukukan sepanjang Januari - Juni 2023, hanya terjual sebanyak 128 unit.

Pandemi virus Corona Covid-19 memberikan efek yang signifikan bagi industri otomotif Indonesia

Setelah lama diperkenalkan ke publik, Esemka Bima akhirnya dilirik konsumen. Namun, memang pembelinya masih dalam kalangan pemerintahan, mulai dari pusat hingga daerah

Kendaraan nasional tersebut, bakal hadir sebagai mobil listrik yang diproduksi sebanyak 175 ribu per tahun

Esemka meresmikan dealer pertamannya yang berlokasi di kompleks pabrik Esemka, di Boyolali, Jawa Tengah.

Saat masih menjabat sebagai Menristek di era Presiden Soeharto, BJ Habibie menginisiasi mobil nasional Maleo.

Mobil Esemka akhirnya diluncurkan. Ada dua jenis Esemka, yakni pikap Bima 1.200 cc dan Bima 1.300 cc.

Esemka hanya perusahaan nasional, bukan mobil nasional. Namun pemerintah tetap akan terus mendorong pengembangan mobil nasional.

Industri otomotif Tanah Air resmi dimeriahkan produsen kendaraan bermotor roda empat, PT Solo Manufaktur Kreasi (PT SMK). Kehadiran pabrik mobil bermerek ESEMKA tersebut, ditargetkan mampu meningkatkan penyerapan komponen otomotif dalam negeri, khususnya produksi I

Sebagai produsen otomotif, Menteri Perindustrian (Menperin) Airlangga Hartarto menegaskan PT Solo Manufaktur Kreasi (PT SMK) telah memiliki Tanda Pendaftaran Tipe (TPT) yang telah diterbitkan oleh Kementerian Perindustrian untuk enam kendaraan Esemka.

Mobil nasional yaitu mobil yang diproduksi dan memiliki nilai tambah di Indonesia.

Mobil Esemka merupakan karya anak bangsa. Mobil ini sempat dikabarkan akan menjadi mobil nasional.

Esemka kembali menjadi topik hangat karena Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) bersama Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi dijadwalkan hadir pada Launching Produk dan Fasilitas Produksi PT. Solo Manufaktur Kreasi (Esemka) di Boyolali, Jawa Tengah, hari ini.

Pemerintah dalam hal ini Kementerian Perindustrian (Kemenperin) tidak menyiapkan insentif khusus untuk pengembangan Esemka.

Setahun setelah ide membuat mobil nasional (mobnas) baru menggantikan Proton tercetus, pemerintah Malaysia telah resmi menunjuk perusahaan yang bakal memimpin proyek tersebut.

Ketika pasar nasional masih menunggu dan bertanya terkait kehadiran Esemka yang digadang-gadang sebagai mobil nasional (mobnas), Negeri Jiran sudah memiliki rencana serius untuk pengembangan merek nasional pengganti Proton.

Produsen mobil lokal asal Vietnam, VinFast siap menghadirkan mobil hatchback murah terbarunya, Fadil

Salah satu industri yang akan dibangun Prabowo adalah mobil dalam negeri. Industri tersebut membutuhkan beberapa komoditas yang dihasilkan oleh petani-petani Indonesia.

PengumumanSiaran Pers